Empowering My Mind

"Imagination is more important than knowledge" -Albert Einstein

My Photo
Name:
Location: Jatinangor, Sumedang, West Java, Indonesia

Blog alumni HI Unpad Angkatan 1991, yang tersebar dimana-mana in many walks of life. Jurnalis, aktifis LSM, perusahaan swasta nasional dan multinasional, business entrepreneur, kantor pemerintah, dosen, peneliti dan lain-lain.

Saturday, June 17, 2006

MOVING

THANKS FOR VISITING MY BLOG. I AM IN THE PROCESS OF MOVING THIS BLOG TO A NEW ADDRESS.
PLEASE CLICK HERE TO VISIT THE NEW BLOG AT WORDPRESS.COM

SEE YOU THERE!

CHEERS
PJV

64 Tahun Paul McCartney

Di akhir tahun 1950-an, Paul McCartney (bersama John Lennon) menulis lagu berjudul “When I’m 64” yang kemudian menjadi salah satu hits the Beatles. Ketika menulis lagu itu, Paul dan John belum lagi berusia 20 tahun. Besok (18 Juni), Paul McCartney merayakan ulang tahunnya yang ke 64. Mungkin dia perlu merevisi lagu itu menjadi “When I’m 84”, karena masih banyak yang sepertinya dia bisa sumbangkan untuk dunia musik.

Ketika lagu itu ditulis, mencapai usia 64 tahun merupakan sesuatu yang agak luar biasa. Anggapan orang saat itu, di usia 64 seseorang sudah tidak lagi produktif dan mungkin tidak terlalu dibutuhkan lagi. Lirik lagu itu juga mencerminkan “kecemasan” yang hampir serupa:


When I’m 64
By Paul McCartney/John Lennon

When I get older, losing my hair, many years from now,
Will you still be sending me a Valentine, birthday greetings, bottle of wine?
If I'd been out 'till quarter to three, would you lock the door?
Will you still need me, will you still feed me,
When I'm sixty-four?

Hmm------mmm---mmmh.

You'll be older, too. Aaah, and if you say the word, I could stay with you.
I could be handy, mending a fuse, when your lights have gone.
You can knit a sweater by the fireside, sunday mornings, go for a ride.
Doing the garden, digging the weeds, who could ask for more?
Will you still need me, will you still feed me, when I'm sixty four?
Every summer we can rent a cottage in the Isle of Wight if it's not to dear. We shall scrimp and save.

Ah, grandchildren on your knee, Vera, Chuck, and Dave.
Send me a postcard, drop me a line stating point of view.
Indicate precisely what you mean to say, yours sincerely wasting away.
Give me your answer, fill in a form, mine forever more.
Will you still need me, will you still feed me, when I'm sixty four?


Sekarang, berpuluh tahun kemudian, banyak sekali orang berusia 64 atau bahkan lebih, yang masih sangat produktif dan independen. Profesor Sadli, ekonom senior kita yang berusia 80 tahun lebih itu, masih menyetir mobil Mercedes tua-nya sendirian, dari Jakarta ke Puncak. Tulisannya mengenai ekonomi Indonesia juga hampir rutin terbit di Koran Tempo atau koran lainnya. Beberapa senior di kantor saya juga hampir atau telah berusia 70-an tahun, masih fit dan tetap amat produktif menulis. Kalau sedang berbeda pendapat dalam meeting di kantor, suara mereka masih menggelegar, bisa terdengar jelas dari ruang rapat di lantai 3 hingga ke lobby di lantai 1 gedung CSIS. Makanya, kami-kami peneliti yang lebih muda sering merasa malu karena kalah spartan di banding mereka yang tua-tua itu.

Paul McCartney demikian juga. Dia tetap kreatif dan produktif hingga saat ini. Catatan produktifitasnya dalam menulis lagu sangat impresif, baik sebelum the Beatles bubar di awal tahun 1970-an ataupun di masa pasca the Beatles. Di penghujung usia the Beatles, dialah yang paling banyak menulis lagu, dibandingkan dengan John Lennon, George Harrison dan Ringo Starr. Lagu-lagu terakhir the Beatles itu tetap populer hinggga sekarang: Let It Be, Get Back, The Long and Winding Road dan juga Yesterday. Lagu Yesterday bahkan masuk ke dalam catatan Guiness Book of Records sebagai lagu yang memilik covered version terbanyak. Tidak kurang dari 3000 covered version lagu Yesterday tercatat hingga saat ini. Masih menurut Guiness Book of Records, Paul McCartney adalah musisi terpopuler dan paling produktif dengan 100 juta lebih singles yang terjual.

Pasca the Beatles, kreatifitas bermusik Paul McCartney tidak surut. Di tahun 1980-an, ada banyak lagu ciptaannya yang menjadi hits di seluruh dunia. Misalnya No More Lonely Nights, Ebony and Ivory bersama Stevie Wonder, dan The Girl is Mine bersama Michael Jackson. Juga ada lagu berjudul Live and Let Die yang dibuatnya untuk sebuah film James Bond. Live and Let Die belakangan dipopulerkan kembali oleh kelompok Guns and Roses dalam album Use Your Illusion yang dirilis dan meledak di tahun 1992 itu.

Paul McCartney menunjukan bahwa dengan atau tanpa the Beatles, dia tidak surut. Rasanya benar kata orang tua saya dulu: harta dan benda yang kita miliki bisa hilang atau dicuri, tapi tidak isi kepala kita. The Beatles bubar, Paul McCartney jalan terus dengan otak kreatifnya dalam bermusik. Mungkin kita masih bisa menantikan karya-karyanya yang akan datang. Soalnya, data statistik terakhir menunjukan angka harapan hidup rata-rata di negara maju (Amerika dan juga Inggris) telah meningkat, dari 47 tahun di awal tahun 1900-an menjadi 77 tahun di tahun 2000-an. Tidak lagi seperti tahun 50-an dulu..he..he. Kecuali Tuhan menghendaki lain, sepertinya Paul McCartney belum akan berhenti berkarya dan menghibur dunia.

Happy Birthday, Paul!

Sunday, June 11, 2006

Kreatifitas Steve Jobs

Tadi sore kami nonton film kartun animasi keluaran Pixar Studio yang baru, Cars. The movie was so cute and touchy. Bagus sekali, pasti dikerjakan dengan tekun oleh para animator yang kreatif. Pixar Studio memang dikenal sebagai produser film animasi yang handal. Film-film keluaran Pixar selalu bagus: Toy Story 1 dan 2, A Bug’s Life, Monster Inc, Finding Nemo dan sekarang Cars.

Saya selalu suka menonton film-film animasi. Para pembuat film animasi pasti orang-orang yang kreatifitasnya tinggi, gifted. Juga para penulis cerita-nya. Sebuah film animasi yang bagus pasti merupakan resultan dari creative minds yang bertemu. Mungkin mereka orang-orang jenius juga.

Omong-omong soal kejeniusan, kadang-kadang saya bertanya-tanya apakah benar apa pendapat Einstein dulu bahwa kejeniusan itu komposisinya adalah 99 persen kerja keras dan 1 persen bakat? Saya perhatikan sepertinya memang ada orang yang betul-betul gifted, sangat berbakat. Kalau mereka bekerja keras, sepertinya itu karena mereka enjoy bekerja dibidang yang sesuai dengan bakatnya. Ada teman kuliah di Bandung dulu yang computer freak. Dia kemudian bekerja di IBM di Jakarta. Saya pernah tanya ke dia: “enak nggak kerja di IBM?” Dia jawab penuh semangat: “Enak lah, wong maen komputer tiap hari dibayar”…he..he.

Menurut saya, salah satu contoh paling konkrit soal kejeniusan dan bakat adalah Steve Jobs, CEO Apple Macintosh yang luar biasa. Saya sendiri baru menggunakan Mac sekitar satu tahun lebih sedikit. Menggunakan Mac, rasanya menyenangkan dan mudah. Sebetulnya, keputusan membeli Mac dulu terjadi di luar rencana. Ketika akan berangkat ke sini, saya mencari laptop di Jakarta. Tidak sengaja, saya mampir ke sebuah toko khusus Macintosh. Saya terkejut karena ternyata harga iBook jauh lebih murah dibandingkan dengan harga laptop brand lain. Saya putuskan membeli, terutama karena murah itu..he..he.

Harga itu membalik pemahaman saya sebelumnya mengenai Macintosh. Dulu, harga komputer Macintosh mahalnya luar biasa. Saya tahu betul, karena tidak berapa lama setelah lulus kuliah dari Bandung, saya sempat bekerja selama kurang lebih dua tahun di sebuah advertising company di Jakarta. Para designer grafis dan orang-orang di creative department di kantor saya dulu itu semua memilih menggunakan Macintosh. Dari interaksi dengan teman sekerja di bagian kreatif lah saya tahu mahalnya harga Macintosh, dibandingkan dengan harga komputer PC berbasis Windows.

Meroketnya angka penjualan Macintosh beberapa tahun terakhir tidak bisa dilepaskan dari sosok Steve Jobs. Steve Jobs mendirikan Apple Macintosh pada tahun 1975. Apple Macintosh kemudian menjadi leading brand pada masa-masa itu. Steve Jobs sangatlah identik dengan Apple Macintosh, karena dia mendesain sendiri komputer Macintosh yang chick dan akrab dengan dunia grafis. Para pengguna Macintosh dikenal fanatik (Di Indonesia ada mailing list pengguna Macintosh yang anggotanya ribuan orang. Beberapa waktu lalu profil komunitas pengguna Macintosh ini pernah diulas panjang lebar di harian Kompas).

Ironisnya, Steve Jobs sempat ditendang dari Apple, perusahaan yang dia dirikan itu. Di sinilah mungkin terlihat perbedaan antara orang jenius dan orang biasa. Kalau saya yang dipecat dari perusahaan yang saya dirikan, mungkin dunia serasa runtuh dan saya tidak akan mungkin bangkit kembali...he..he. Tidak demikian halnya dengan Steve Jobs. Dengan kejeniusannya, dia membuat perusahaan baru, yaitu Pixar Studio tadi, di tahun 1986. Dalam waktu relatif pendek, Steve Jobs membawa Pixar menjadi perusahaan terkemuka dalam bidang produksi film animasi. Toy Story yang menyegarkan itu adalah film pertamanya. Film itulah yang memulai trend film animasi tiga dimensi, menggantikan film kartun dua dimensi yang biasa diproduksi oleh Disney atau perusahaan lain.

Pixar menjadi perusahaan yang sangat dikagumi karena kreatifitasnya. Melalui Pixar, Steve Jobs mengubah wajah dunia film dan grafis. Pixar telah menuai penghargaan 20 Academy Awards, film-film-nya juga mencetak box office dengan nilai lebih dari 3,2 milyar dolar. Kabar terakhir, Pixar merger dengan the Walt Disney Company di awal tahun 2006 ini. Sekarang Steve Jobs juga menjadi bagian dari Board of Directors-nya. Film Cars yang kami tonton tadi sore di bioskop adalah hasil produksi perusahaan merger ini.

Kisah inovasi Steve Jobs selanjutnya juga menarik. Setelah ditendang, dia ditarik kembali oleh Apple, dan diminta untuk menjadi CEO-nya. Dengan bergabung kembalinya Steve Jobs, Apple kembali menjadi perusahaan sensasional. Kreatifitas dan imajinasi Steve Jobs lagi-lagi menjadi perbincangan. Di front komputer, inovasi Steve Jobs adalah adalah mengubah citra produk Macintosh yang mahal harganya. Apple kemudian meluncurkan komputer-komputer dengan harga yang lebih murah, seperti iBook yang harganya relatif terjangkau itu.

Inovasi teranyar Steve Jobs yang juga dahsyat adalah iPod. Jika melalui Pixar Steve Jobs merevolusi dunia digital image, melalui iPod dia merevolusi dunia digital sound/music. Bahkan ia mengintegrasikan digital music, komputer dan internet sekaligus lewat software iTune-nya, dan juga melalui iTune online music store. Di situs resmi Apple Macintosh tertulis bahwa iPod telah terjual lebih dari 50 juta buah di seluruh dunia. Sebuah angka yang fantastis untuk sebuah produk yang relatif baru diluncurkan. Di tangan Steve Jobs, dunia film, musik dan komputer berubah wajah.

Steve Jobs berkali-kali ditanya apa resep dibalik otak kreatif dan inovatifnya itu. Dia selalu menjawab simpel: “You’ve got to find what you love ”. Artinya, mencintai pekerjaan yang kita geluti adalah kunci daya imajinasi dan kreatifitas. Jadi, bukan bakat atau kerja keras yang menjadi penentu imajinasi dan creative minds. Penentunya adalah passion.

Saturday, June 10, 2006

Data

Nico, kawan kuliah saya di NIU yang juga kolega peneliti di CSIS , beberapa hari lalu memperbolehkan saya membaca draft proposal yang sedang dia tulis untuk disertasinya. Topiknya menarik: party survival dalam kaitannya dengan regime change dan transformasi sistem politik. Menarik, karena Indonesia sedang dalam masa transisi, sehingga kajian ini relevan. Juga menarik karena saya pribadi sebetulnya tidak terlalu menggeluti topik-topik mengenai partai politik dan electoral system. Karena itu saya membaca proposal itu dengan rasa ingin tahu.

Saat membaca proposal itu, saya tersadar bahwa pengetahuan saya mengenai topik itu sangat minim. Mungkin juga karena tulisan Nico itu terlalu luar biasa (hua…ha…..ha…kalo Nico baca tulisan ini: serius nih Bung, ente jangan kira ini filsafat bola voli…he..he…). Akhirnya, saya cari-cari artikel lain untuk menambah pengetahuan mengenai topik ini. Bukan apa-apa, Nico minta saya kasih input setelah saya selesai membaca draftnya. Lah, ternyata pengetahuan saya nol belaka. Sialnya juga, saya belum pernah ambil mata kuliah tentang election system and political party ini.

Dari internet saya temukan beberapa bahan yang saya pikir bisa menjadi rujukan awal untuk mulai mengenali topik party politics dan electoral system ini. Yang pertama terbaca adalah sebuah artikel berjudul “Regime Type, Electoral Conduct and Political Competition in Africa”. Hal yang pertama-tama menarik perhatian saya dari tulisan ini adalah sebuah footnote yang diletakkan paling awal oleh penulis artikel itu. Dalam footnote ini, sang penulis mengucapkan terimakasih kepada seorang professor lain yang mau sharing data set-nya, yang memungkinkan dia meneliti dan membuat tulisan itu. Dengan kata lain, dia melakukan penelitian dan penulisan di atas bangunan data penelitian orang lain.

Memang demikianlah bekerjanya dunia akademik: sebuah temuan selalu dibangun di atas temuan orang lain. Hal semacam ini hanya mungkin terjadi karena si professor tadi bersedia men-share data mentah yang dia miliki, sehingga orang lain bisa mengolah data yang sama untuk melahirkan temuan lain. Saya semula berpikir, mungkin mereka berdua saling mengenal, makanya mau berbagi data. Saya paham bahwa data set adalah sesuatu yang mahal. Data mentah yang diperoleh dari penelitian di lapangan dengan jumlah sample yang besar, pasti mahal sekali biayanya. Mana mungkin orang mau berbagi data yang dikumpulkan dengan biaya mahal kepada orang lain?

Ternyata pikiran saya itu salah. Ada banyak sekali artikel yang mencantumkan footnote serupa: ucapan terimakasih kepada professor anu atau lembaga itu yang mau berbagi data set. Bahkan ada banyak yang menyediakan data mentah penelitian mereka online di internet, sehingga bisa diakses siapa saja. Beberapa lembaga dan universitas di Amerika (juga di Eropa) memang membuat data mentah hasil penelitian mereka available di internet. Salah satunya adalah University of Michigan, yang dikenal sebagai sumber data set penting untuk penelitian mengenai voting behavior di Amerika.

Tradisi semacam itu membuat ilmu politik di Amerika menjadi kaya dan maju paling tidak karena dua alasan. Pertama, orang bisa melakukan penelitian lanjutan dari penelitian terdahulu, melahirkan temuan baru, interpretasi baru atau memunculkan tema-tema baru, yang mungkin tidak terpikir oleh mereka yang pertama kali mengumpulkan dan membuat data set itu. Kedua, data set yang di share tentunya mendorong keterbukaan. Boleh jadi ada peneliti lain yang bisa mengkoreksi hasil olahan atau analisis dari pihak pertama yang memiliki data set itu. Atau bisa juga peneliti lain malah memperkuat analisis pihak pertama pemilik data set tersebut. Either way, keduanya sangat penting bagi kemajuan ilmu, termasuk ilmu politik, yang pada dasarnya merupakan proses thesis-antitesis-sintesis yang dialektis sifatnya.

Di tanah air kita, keadaannya tidak menggembirakan. Data, baik mentah ataupun olahan, sangat sulit diperoleh. Kalaupun ada, sangat mahal harganya. Coba saja tengok harga data statistik di Biro Pusat Statistik (BPS), hanya bisa terbeli oleh penelitian berdana besar. Peneliti individual seperti dosen-dosen ilmu sosial politik akan berpikir berkali-kali sebelum membeli data-data di BPS.

Saat pemilu 2004 lalu, polling dan survey tumbuh subur. Lembaga Survey Indonesia (LSI), yang kemudian terpecah dua itu, rajin melakukannya. Lembaga lain seperti LP3ES dan Forum Rektor juga melakukan hal serupa. Lembaga-lembaga tersebut memang menyampaikan temuan (baca: analisis) dari data yang mereka kumpulkan di lapangan kepada publik. Tentu kita masih ingat beberapa polling mereka menjadi kontroversial. Publik atau pihak tertentu yang tidak puas menuding lembaga-lembaga penyelenggara polling itu bias. Tuduhan lebih galak malah menyatakan bahwa lembaga-lembaga polling itu tidak independen alias tendensius dan memiliki agenda tertentu.

Sepertinya, publik kita terkejut dengan tradisi baru polling yang secara metodologis memang bisa “memperkirakan” hasil pemilu. Dengan metodologi sedemikian rupa, hasil pemilu sebetulnya bisa diperkirakan. Publik kita mungkin hanya terbiasa dengan “metodologi Orde Baru”, dimana hasil pemilu jaman Orde Baru dulu juga selalu bisa diperkirakan sebelum berlangsung: Golkar pasti akan menang mutlak…he..he..he.

LSI, LP3ES dan lembaga lain sudah memulai tradisi baru. Lembaga-lembaga ini akan berkontribusi lebih besar bagi pengembangan ilmu politik kita apabila mereka bersedia membuka data mentah mereka kepada publik. Supaya orang lain bisa melanjutkan, atau kalau perlu menguji keshahihan, analisis mereka mengenai pemilu yang lalu. Kalau ini terjadi, kajian ilmu politik di Indonesia akan semakin tumbuh subur.

Sebenarnya, beberapa polling itu terselenggara karena adanya dana bantuan dari lembaga funding internasional. Lembaga funding ini nota bene memperoleh dana dari pembayar pajak di negara asalnya. Dalam konteks demikian, rasanya para pembayar pajak negara itu sangat ingin apabila data-data yang pengumpulannya dibiayai oleh uang mereka bisa diakses publik secara luas.

Berkaitan dengan publikasi data set, preseden baik sudah dimulai oleh sebuah lembaga bernama UNSFIR (United Nations Support Facility for Indonesian Recovery). UNSFIR mensponsori penelitian yang dilakukan oleh pakar studi konflik dari University of Michigan bernama Ashutosh Varshney, bersama dengan Muhammad Zoelfan Tadjoeddin (peneliti UNSFIR di Jakarta) dan Rizal Panggabean (dari Universitas Gadjahmada). Penelitian mereka telah membuahkan sebuah laporan berkelas internasional bertajuk “Patterns of Communal Violence in Indonesia”. Data mentah penelitian yang dilakukan di beberapa propinsi itu telah diserahkan oleh UNSFIR kepada Bappenas tahun 2005 lalu. Maksudnya adalah agar data set itu dibuka kepada publik, sehingga orang lain bisa mengolahnya juga. Harapannya, kajian dan pemahaman mengenai konflik di Indonesia akan semakin maju lagi. Semoga lembaga-lembaga lain di Indonesia akan segera mengikuti langkah UNSFIR ini.

Tuesday, June 06, 2006

Bencana dan Akumulasi Pengetahuan

Tsunami di Aceh, gempa di Nias dan lalu di Jogjakarta. Tiga peristiwa bencana yang mengguncang kesadaran kita. Bencana sedahsyat tsunami dan gempa kemarin tentu membuat siapapun merasa lemah tak berdaya melawan kekuatan alam. Banyak juga orang yang menunjuk bencana itu sebagai laknat dari sang Pencipta bagi mereka yang tinggal di tempat-tempat itu. Saya ingat, di minggu-minggu awal pasca bencana tsunami di Aceh, seorang khatib shalat Jumat di kantor pusat Muhammadiyah di daerah Menteng Jakarta menyebut bahwa tsunami terjadi sebagai laknat karena penduduk Aceh terlalu suka menumpahkan darah dan berperang tiada henti. Usai shalat, hampir saja khatib itu menjadi sasaran kemarahan salah seorang petinggi Muhammadiyah yang kebetulan orang Aceh asli. Akhirnya sang khatib minta maaf.

Laknat atau bukan, bukan maksud saya membuat tulisan ini. Yang menjadi perhatian saya adalah seberapa jauh sebetulnya akal dan pengetahuan bisa membimbing kita dalam merespons saat-saat ketika alam menunjukan geliat kekuatannya?

Setelah gempa dan tsunami, tiba-tiba kita baru sadar bahwa kita memiliki ahli-ahli gempa dan tsunami yang handal dan kaliber internasional. Mereka bekerja diam-diam, ditengah apresiasi sangat minim dari masyarakat dan pemerintah kita terhadap dunia riset. Kita hampir tidak pernah ambil peduli terhadap mereka yang bekerja meng-akumulasi ilmu pengetahuan, melalui riset baik bidang eksakta maupun humaniora.

Pasca gempa kemarin saya iseng mengakses search engine di katalog perpustakaan kampus untuk mencari tahu soal gempa. Saya temukan beberapa ilmuwan Indonesia telah mempublikasikan hasil riset mengenai gempa di Indonesia, tidak tanggung-tanggung, di jurnal Nature edisi Maret 2006, kurang dari dua bulan sebelum gempa terjadi. Tulisan mereka sedikit banyak telah ‘memprediksi’ peristiwa gempa di Jogja itu, dengan perhitungan dan analisa ilmiah. Jurnal Nature adalah jurnal science paling terkemuka dan tentunya tidak sembarang hasil riset bisa dipublikasikan di sana. Rupanya dunia Barat lebih haus akan hasil riset kita, dibandingkan dengan kita sendiri.

Barusan saya baca majalah Tempo edisi terkini. Tentu saja laporan utamanya adalah mengenai gempa di Jogja itu. Ada cuplikan wawancara dengan seorang doktor kita, ahli bidang gempa tamatan sebuah universitas di Tokyo. Jepang mungkin adalah salah satu negara paling maju dalam bidang riset gempa, antara lain dimotivasi oleh kesadaran dan pengetahuan orang Jepang bahwa ruang hidup mereka terletak di wilayah rawan gempa. Orang Jepang telah mengembangkan pengetahuan untuk mengurangi kerusakan yang timbul akibat gempa. Mengapa kita di Indonesia yang juga hidup di wilayah rawan bencana, ring of fire, tidak pernah termotivasi melakukan hal serupa?

Ada bagian wawancara itu yang menghentak saya. Ini kutipannya:

“Pola kerusakan gempa 27 Mei mirip dengan gempa yang terjadi 4 Januari 1840 di Bantul dan Klaten. Gempa ini dicatat dalam buku Sejarah Gempa karya New Comb dan Mc. Com yang terbit 1987. Doktor dari Institut Riset Gempa, Universitas Tokyo, ini menunjukkan gempa tersebut ternyata melahirkan gempa susulan. Gempa susulan ini arah dan guncangannya makin luas. Gempa 1840, kata dia, disusul gempa 20 Januari 1867 yang meninggalkan area kerusakan yang jauh lebih besar. Gempa berikutnya, 28 Maret 1875, jauh lebih besar lagi. Berangkat dari kekhawatiran ini, ia mendesak pemerintah membuat peta sesar aktif yang ada di seantero Jawa dan Sumatera. Di Jawa ada beberapa sesar penting, di antaranya sesar Cimandiri di Pelabuhan Ratu (Sukabumi) dan sesar Lembang di Bandung”


Membaca wawancara di Tempo itu membuat saya makin menyadari betapa lemahnya kemampuan bangsa kita dalam mengakumulasi dan kemudian memanfaatkan ilmu pengetahuan. Gempa kemarin nyatanya ada presedennya beratus tahun lalu. Tsunami pun demikian. Juga tersedia catatan berbagai letusan gunung berapi: Krakatau, Tambora, Merapi, Galunggung, dan gunung Agung. Ironisnya, sejarah dan pengetahuan jarang sekali menuntun kita. Sebagian sebabnya, menurut saya, adalah karena kita tidak cukup memiliki apresiasi terhadap dunia riset dan ilmu pengetahuan. Juga karena kita hanya peduli hari ini, tidak pada masa lalu, apalagi masa depan.

Kadang kala kita menghibur diri ketika ada satu dua orang luar biasa Indonesia menjadi juara di ajang kompetisi science internasional, atau ketika ada ada satu dua orang Indonesia yang diakui kepakarannya di dunia internasional. Tapi mereka itu sangat sedikit jumlahnya, mungkin hanya merupakan noktah dari lautan ketertinggalan kita dalam bidang ilmu pengetahuan. Apalagi, sikap dan perilaku kita semua yang tidak kondusif bagi kemajuan ilmu pengetahuan di tanah air. Tentunya bukan maksud tulisan ini untuk mengatakan bahwa ilmu pengetahuan akan sanggup mengatasi kuasa alam. Pesannya adalah ilmu pengetahuan bisa mengurangi nestapa yang ditimbulkan dari sebuah bencana.

Saya jadi teringat sebuah buku karangan John Lewis Gaddis, seorang sejarawan hubungan internasional. Dalam bukunya yang berjudul “Strategies of Containment: a Critical Appraisal of American National Security Policy during the Cold War”, ia menunjukan bahwa Amerika Serikat bisa keluar sebagai pemenang dalam Perang Dingin antara lain karena presiden-presiden Amerika sejak Presiden Truman hingga Bush Senior menjalankan containment strategy yang pengetahuannya diakumulasi sedemikian rupa hingga menuntun kebijakan luar negeri Amerika dalam menangkal perluasan pengaruh Uni Soviet. Kata Gaddis, sejarah dan pengetahuan harus transferable.

Barusan saya selesai membaca sebuah novel karya salah satu penulis kesukaan saya, Michael Crichton, judulnya “State of Fear” (yah maklum sedang tidak ada kuliah, libur panjang musim panas bisa baca-baca novel…he..he).

Ide cerita novel ini sebetulnya biasa saja, mengenai kontroversi global warming. Akan tetapi, Michael Crichton berhasil membuatnya menjadi sebuah wahana perdebatan akademis yang ia sampaikan dalam bentuk dan bahasa yang lebih dipahami banyak orang. Crichton menyampaikan pandangan dua kubu yang bertentangan. Yang satu menyatakan bahwa global warming adalah fenomena kontemporer akibat industrialisasi yang meraja lela, yang lain menyatakan bahwa global warming adalah fenomena biasa karena sejak jutaan tahun lalu suhu bumi naik dan turun, yang merupakan proses alami bumi kita untuk mencari titik equilibriumnya.

Crichton mengutip berbagai data, grafik dan tabel valid dari sumber-sumber ilmiah seperti data set NASA dan laboratorium lain, jurnal-jurnal peer-review bidang science yang terkemuka, dan juga buku-buku yang kredibel, untuk menyampaikan argumen kedua kubu itu. Crichton menghabiskan waktu tiga tahun untuk melakukan riset sebelum memulai menulis novelnya itu. Mungkin sama lamanya dengan melakukan riset untuk disertasi…he..he. Yang jelas, dari novel itu saya bisa mendapat gambaran betapa akumulasi data ilmiah sangat penting untuk menuntun para pengambil keputusan, dan juga kita, sebelum dan sesudah bencana datang menghujam kita.