Strawberry Fields Forever
Kemarin, di kampus NIU terjadi kehebohan. Dua orang mahasiswa, ya hanya dua orang, menggelar demonstrasi di sebuah tempat yang selalu dilalui orang banyak, di plaza yang terletak antara Student Center dan Founders Memorial Library. Plaza nya bernama King Memorial Commons, mengambil nama Martin Luther King, penggerak Civil Rights Movement di Amerika tahun 1960-an dulu.
Yang membuat heboh adalah banner besar yang diusung dua mahasiswa itu. Begini isinya:
WARNING Jesus Rejecter: homos and lesbos, porno freaks, drunkards, Muslims, Buddhists, unsubmissive wives, money lover, unloving husbands, thieves, rebellious children, liars, fornicators, lazy Christians, Mormons, Roman Catholics. God will judge you!
Lebih seru lagi, dua mahasiswa ‘fundamentalis’ ini memakai kaos hitam dengan tulisan besar di depan dan belakang: Repent or Perish.
Saya melewati dua orang itu, dan ada banyak sekali orang yang berkerumun di sekitarnya. Rupanya, ada banyak orang yang gerah dengan banner itu dan mereka berhenti berjalan untuk berdebat dengan dua mahasiswa yang mungkin sedang bersemangat beragama. Menariknya, mereka yang berkerumun dan mendebat dua orang itu datang dari beragam kelompok: mahasiswa Muslim, Yahudi, Kristen, feminist, kelompok lesbian dan homoseks. Sementara, mereka berdua itu kalem-kalem saja. Mereka cuma bilang: Sinners will be punished…Itu mungkin yang bikin kerumunan orang bertambah sewot.
Seperti di banyak tempat lain, termasuk di Indonesia, di Amerika juga muncul kelompok yang “hobi”-nya mengkafirkan orang lain, dan merasa dirinya paling benar. Dua orang ini sungguh aneh, mereka yang beragama Kristen pun dijadikan sasaran: lazy Christians, Mormons, dan Roman Catholics. Katolik, tentu saja kita tahu, merupakan salah satu mainstream besar dalam Christianity. Mormon adalah salah satu aliran dalam tradisi Kristen di Amerika. Mungkin Mormon bisa dianalogikan dengan kelompok Ahmadiyah yang tertindas di negeri kita itu. Katolik, dan juga Mormon, mendasarkan ajarannya pada pengakuan Jesus sebagai Messiah, yang merupakan definisi khas ke-kristen-an, sama seperti mereka berdua.
Salah seorang teman Amerika saya yang pergi bareng ke konferensi di Michigan minggu lalu, adalah penganut Mormon. He is a very good person, kalau bicara santun sekali, jadwal hidupnya teratur, sama sekali tidak mengkonsumsi alkohol (dia tidak pernah ke cafe, bar atau pub), dan juga sangat aktif di gerejanya. Dia juga teman bicara yang menyenangkan. Spanduk dua mahasiswa tadi tentu menudingnya, sebagai penganut Mormon, berada di luar ke-Kristen-an alias kafir. Hanya ada satu kelompok yang lupa di list oleh dua orang ini: Hindu. Padahal, jumlah mahasiswa asal India di NIU cukup banyak juga…he..he. Akhirnya, polisi kampus mengusir dua orang itu.
Ada beberapa renungan yang muncul dari kehebohan kemarin. Pertama, kecenderungan eksklusifisme beragama pada dasarnya terjadi dimana-mana, di semua agama. Di Indonesia ataupun Amerika, Islam ataupun Kristen. Yang mengkhawatirkan adalah bila eksklusifisme merasuk ke universitas, sebuah tempat yang seharusnya steril dari semua gejala eksklusifisme. Kampus adalah tempat yang harus menjadi ruang yang paling inklusif dan menjadi benteng penjaga pluralisme. Beberapa hari terakhir juga sedang terjadi perdebatan hangat di kalangan akademisi Amerika. Kelompok radikal mulai aktif “menghantam” profesor-profesor di berbagai kampus yang menentang perang Irak dan kebijakan Amerika di Timur Tengah. Bulan Februari lalu, terbit sebuah buku kontroversial berjudul The Professors: 101 Most Dangerous Academics in America, dimana pengarangnya, Horowitz, membuat list "in alphabetical order, the radical academics whom he believes are polluting academe with leftwing propaganda. "Coming to a campus near you: terrorists, racists, and communists - you know them as The Professors," reads the blurb on the jacket. "Today's radical academics aren't the exception - they're legion. And far from being harmless, they spew violent anti-Americanism, preach anti-semitism and cheer on the killing of American soldiers and civilians - all the while collecting tax dollars and tuition fees to indoctrinate our children." (dari Guardian, 4 April 2006)
Dari sini renungan kedua muncul: seperti di Indonesia, di Amerika jumlah orang yang radikal dalam beragama pada dasarnya sangat jauh lebih sedikit dibandingkan dengan total populasi keseluruhan. Yang membuatnya menjadi kelihatan besar adalah media. Ketika Indonesia disalahpahami orang luar sebagai tempat yang dipenuhi radikalisme, sepertinya itu merupakan efek dari pemberitaan media. Kecenderungan yang sama terjadi juga dengan media-media di Amerika.
Bahkan koran harian Northern Star, koran yang dikelola ‘senat’ mahasiswa NIU mengulas panjang lebar dan mengkritik habis dua orang mahasiswa itu. Artinya, media memberi ruang dan memungkinkan terjadinya triangulasi pandangan eksklusifisme. So, in the end, kesalahpahaman meruncing, saling curiga antara Islam-Kristen, juga antara Timur-Barat. Betul kata John Lennon dan the Beatles dalam lagunya Strawberry Field Forever. John Lennon bilang: Living is easy with eyes closed, misunderstanding all you see….
ngomong-ngomong, koran mahasiswa Northern Star ini terbit rutin setiap hari sudah lama, sejak 100 tahun lalu. Majalah Polar kita terbitkan di kampus Fisip pertama kali tahun 1992 dan tahun 2005 masih terbit, jadi kira-kira baru 13 tahun. Bedanya lagi, Northern Star terbit setiap hari, sementara Polar adalah majalah Tempo, alias tempo-tempo terbit, tempo-tempo enggak ..he..he. Cuma sekedar memberi gambaran bahwa tradisi tulis-baca mahasiswa kita sungguh jauh tertinggal.
Renungan ketiga: tindakan aparat keamanan mengusir dua orang itu menurut saya merupakan hal yang juga mengkhawatirkan. Saya memang sangat tidak setuju dengan isi banner dua orang itu, tapi saya akan membela hak mereka untuk menyampaikan pendapat. Sepanjang mereka tidak melakukan aksi kekerasan, atau mendorong orang secara langsung melakukan kekerasan terhadap kelompok lain, hak berpendapatnya harus dilindungi sepenuhnya. Apalagi di dalam lingkungan kampus, yang merayakan kebebasan berpendapat.
Dekalb 7 April 2006
philips vermonte
Yang membuat heboh adalah banner besar yang diusung dua mahasiswa itu. Begini isinya:
WARNING Jesus Rejecter: homos and lesbos, porno freaks, drunkards, Muslims, Buddhists, unsubmissive wives, money lover, unloving husbands, thieves, rebellious children, liars, fornicators, lazy Christians, Mormons, Roman Catholics. God will judge you!
Lebih seru lagi, dua mahasiswa ‘fundamentalis’ ini memakai kaos hitam dengan tulisan besar di depan dan belakang: Repent or Perish.
Saya melewati dua orang itu, dan ada banyak sekali orang yang berkerumun di sekitarnya. Rupanya, ada banyak orang yang gerah dengan banner itu dan mereka berhenti berjalan untuk berdebat dengan dua mahasiswa yang mungkin sedang bersemangat beragama. Menariknya, mereka yang berkerumun dan mendebat dua orang itu datang dari beragam kelompok: mahasiswa Muslim, Yahudi, Kristen, feminist, kelompok lesbian dan homoseks. Sementara, mereka berdua itu kalem-kalem saja. Mereka cuma bilang: Sinners will be punished…Itu mungkin yang bikin kerumunan orang bertambah sewot.
Seperti di banyak tempat lain, termasuk di Indonesia, di Amerika juga muncul kelompok yang “hobi”-nya mengkafirkan orang lain, dan merasa dirinya paling benar. Dua orang ini sungguh aneh, mereka yang beragama Kristen pun dijadikan sasaran: lazy Christians, Mormons, dan Roman Catholics. Katolik, tentu saja kita tahu, merupakan salah satu mainstream besar dalam Christianity. Mormon adalah salah satu aliran dalam tradisi Kristen di Amerika. Mungkin Mormon bisa dianalogikan dengan kelompok Ahmadiyah yang tertindas di negeri kita itu. Katolik, dan juga Mormon, mendasarkan ajarannya pada pengakuan Jesus sebagai Messiah, yang merupakan definisi khas ke-kristen-an, sama seperti mereka berdua.
Salah seorang teman Amerika saya yang pergi bareng ke konferensi di Michigan minggu lalu, adalah penganut Mormon. He is a very good person, kalau bicara santun sekali, jadwal hidupnya teratur, sama sekali tidak mengkonsumsi alkohol (dia tidak pernah ke cafe, bar atau pub), dan juga sangat aktif di gerejanya. Dia juga teman bicara yang menyenangkan. Spanduk dua mahasiswa tadi tentu menudingnya, sebagai penganut Mormon, berada di luar ke-Kristen-an alias kafir. Hanya ada satu kelompok yang lupa di list oleh dua orang ini: Hindu. Padahal, jumlah mahasiswa asal India di NIU cukup banyak juga…he..he. Akhirnya, polisi kampus mengusir dua orang itu.
Ada beberapa renungan yang muncul dari kehebohan kemarin. Pertama, kecenderungan eksklusifisme beragama pada dasarnya terjadi dimana-mana, di semua agama. Di Indonesia ataupun Amerika, Islam ataupun Kristen. Yang mengkhawatirkan adalah bila eksklusifisme merasuk ke universitas, sebuah tempat yang seharusnya steril dari semua gejala eksklusifisme. Kampus adalah tempat yang harus menjadi ruang yang paling inklusif dan menjadi benteng penjaga pluralisme. Beberapa hari terakhir juga sedang terjadi perdebatan hangat di kalangan akademisi Amerika. Kelompok radikal mulai aktif “menghantam” profesor-profesor di berbagai kampus yang menentang perang Irak dan kebijakan Amerika di Timur Tengah. Bulan Februari lalu, terbit sebuah buku kontroversial berjudul The Professors: 101 Most Dangerous Academics in America, dimana pengarangnya, Horowitz, membuat list "in alphabetical order, the radical academics whom he believes are polluting academe with leftwing propaganda. "Coming to a campus near you: terrorists, racists, and communists - you know them as The Professors," reads the blurb on the jacket. "Today's radical academics aren't the exception - they're legion. And far from being harmless, they spew violent anti-Americanism, preach anti-semitism and cheer on the killing of American soldiers and civilians - all the while collecting tax dollars and tuition fees to indoctrinate our children." (dari Guardian, 4 April 2006)
Dari sini renungan kedua muncul: seperti di Indonesia, di Amerika jumlah orang yang radikal dalam beragama pada dasarnya sangat jauh lebih sedikit dibandingkan dengan total populasi keseluruhan. Yang membuatnya menjadi kelihatan besar adalah media. Ketika Indonesia disalahpahami orang luar sebagai tempat yang dipenuhi radikalisme, sepertinya itu merupakan efek dari pemberitaan media. Kecenderungan yang sama terjadi juga dengan media-media di Amerika.
Bahkan koran harian Northern Star, koran yang dikelola ‘senat’ mahasiswa NIU mengulas panjang lebar dan mengkritik habis dua orang mahasiswa itu. Artinya, media memberi ruang dan memungkinkan terjadinya triangulasi pandangan eksklusifisme. So, in the end, kesalahpahaman meruncing, saling curiga antara Islam-Kristen, juga antara Timur-Barat. Betul kata John Lennon dan the Beatles dalam lagunya Strawberry Field Forever. John Lennon bilang: Living is easy with eyes closed, misunderstanding all you see….
ngomong-ngomong, koran mahasiswa Northern Star ini terbit rutin setiap hari sudah lama, sejak 100 tahun lalu. Majalah Polar kita terbitkan di kampus Fisip pertama kali tahun 1992 dan tahun 2005 masih terbit, jadi kira-kira baru 13 tahun. Bedanya lagi, Northern Star terbit setiap hari, sementara Polar adalah majalah Tempo, alias tempo-tempo terbit, tempo-tempo enggak ..he..he. Cuma sekedar memberi gambaran bahwa tradisi tulis-baca mahasiswa kita sungguh jauh tertinggal.
Renungan ketiga: tindakan aparat keamanan mengusir dua orang itu menurut saya merupakan hal yang juga mengkhawatirkan. Saya memang sangat tidak setuju dengan isi banner dua orang itu, tapi saya akan membela hak mereka untuk menyampaikan pendapat. Sepanjang mereka tidak melakukan aksi kekerasan, atau mendorong orang secara langsung melakukan kekerasan terhadap kelompok lain, hak berpendapatnya harus dilindungi sepenuhnya. Apalagi di dalam lingkungan kampus, yang merayakan kebebasan berpendapat.
Dekalb 7 April 2006
philips vermonte
2 Comments:
Thanks...sejarah memang selalu menarik untuk menerangkan hari ini.....
pjv
Gak terlalu mengherankan kalau koran kampus kita gak bisa sekonsisten tabloid gosip. Soalnya
bangsa kita memang lebih gemar "nguping" dan "ngomongin' orang, karena dibiasakan kumpul-kumpul oleh orang tua dan guru, mulai dari arisan keluarga sampai upacara bendera. Jarang banget khan di "dua acara favorit" itu kita sempat membaca (apalagi menulis)sebab sibuk suntuk dengerin nasehat orang tua atau menganga ngikutin paduan suara.
Mungkin kebiasaan nguping dan ngomongin orang itu bisa di up-grade dengan rajin membaca dan belajar mengomentari tulisan canggih teman-teman yang smart seperti si abang pemilik blog ini.
Post a Comment
<< Home