Dari Festival Ide ke Ilmu Politik Kita
Tahun 2000, dewan kota Adelaide mengadakan sebuah acara yang diberi nama Festival of Ideas, yang berlangsung dua hari. Uniknya, Festival of Ideas merupakan semacam bazaar seminar dengan puluhan topik yang dilangsungkan selama dua hari itu. Banyak topik berlangsung bersamaan, di gedung atau ruangan yang berbeda-beda. Kita harus cermat memilih topik yang tercantum di booklet, seminar mana yang ingin kita hadiri, karena semuanya menarik. Topiknya sangat beragam: perkembangan dunia film Australia, masalah etika kloning, politik internasional, sejarah Australia, pokoknya macam-macam. Acaranya free of charge, siapa saja boleh datang.
Saya, yang saat itu sedang studi S-2 di Adelaide, datang ke dua seminar. Satu mengenai politik internasional (Amerika dan politik global), satu lagi topiknya adalah Socialism in Our Contemporary World. Kedua-keduanya dipenuhi pengunjung, yang sebagian besar warga kota Adelaide dan juga ada warga dari kota lain. Yang jelas, acara itu memang diperuntukkan untuk warga kota. Makanya yang datang bukan hanya kalangan kampus saja.
Seminar mengenai Socialism in Our Contemporary World malah penuh sesak oleh pengunjung. Banyak yang tidak mendapat tempat duduk dan harus duduk di lantai. Pembicara topik itu adalah Arief Budiman, yang mengajar di University of Melbourne. Sessionnya berlangsung di Art Gallery, yang letaknya persis di sebelah kampus University of Adelaide tempat saya belajar.
Luar biasa, topik-topik yang sehari-harinya merupakan topik diskusi di kampus, didiskusikan bersama orang non-kampus dalam Festival of Ideas itu, bersama-sama dengan orang-orang yang bekerja di tempat-tempat swasta seperti bank, atau di kantor pemerintah, kurator museum, pedagang, karyawan perusahaan, bus driver, dan warga lain. Pemerintah kota Adelaide sangat terkejut dan gembira melihat antusiasme warganya, lalu memutuskan untuk menyelenggarakan Festival of Ideas setiap tahun, dan acara itu kemudian dijadikan ikon kota Adelaide.
Entah kapan Pemda DKI akan punya ide semacam itu. Mestinya warga kota Jakarta bisa menghadiri bazaar ide mengenai, misalnya, teknologi terkini pengelolaan sampah (yang bikin pusing kota Jakarta itu), problem urbanisasi dan transportasi kota, budaya lenong, diskusi film dan lagu warisan Benyamin Sueb, atau apa saja lah…he..he. Event semacam itu akan menjadi sebuah ruang publik yang bermanfaat, baik untuk Pemda maupun untuk warga Jakarta sendiri. Juga akan menjadi media relaksasi warga kota yang murah dan akan sangat luar biasa dampaknya. Seru kan kalau kita datang ke sebuah seminar dengerin Mandra presentasi soal budaya Betawi, lalu sesudahnya nonton pertunjukan barongsai atau tari topeng Betawi warna-warni?
Saya pernah membuat kelompok diskusi anak-anak muda di Jakarta. Kami bertemu dua minggu sekali, setiap hari Rabu malam sepulang kerja. Diskusi kami macam-macam topiknya, karena anggotanya juga macam-macam pekerjaannya. Ada dosen, peneliti, karyawan perusahaan swasta, aktifis LSM, wartawan, anggota parpol dan lain-lain. Anggota kelompok itu 10-15 orang yang aktif. Sekali waktu kami diskusi dengan topik Arsitektur Kota Jakarta. Kami mengundang Marco Kusumawijaya, arsitek kondang itu, dan Adep, ketua Sahabat Museum (organisasi non-profit yang sering membuat acara bulanan jalan-jalan ke berbagai tempat historik di Jakarta), untuk menjadi pembicara. Tidak kami sangka, rencana diskusi itu menyebar, mungkin via email. Malam itu yang hadir hampir 50 orang, dan bukan anggota kelompok diskusi kami. Ada arsitek, plannolog, karyawan Pemda, wartawan, bahkan ada mahasiswa planologi ITB jauh-jauh datang dari Bandung dan banyak lagi. Ruangan tempat kami biasa berdiskusi di Jalan Proklamasi malam itu penuh sesak. Malam itu saya semakin sadar bahwa kita perlu ruang publik lebih banyak, dan kota Jakarta terasa "kering kerontang" karena tidak memberi tempat untuk sisi humanis warganya.
Kantor saya CSIS pernah beberapa kali mengadakan acara semacam Festival of Ideas itu. Bedanya, peserta dan pembicaranya adalah undangan. Acara itu namanya ASEAN People’s Assembly (APA). Pertama kali diadakan di Batam di tahun 2000, yang kedua di Bali tahun 2002. Pesertanya sekitar 300-an orang, aktivis LSM dari negara-negara ASEAN. Juga ada beberapa peserta dari beberapa negara di luar kawasan Asia Tenggara. Acaranya berlangsung selama seminggu, topiknya beragam-ragam. Ada Human Rights di Asia Tenggara, kemajuan organisasi ASEAN, konflik etnis di Asia Tenggara dan lain-lain. APA kemudian berlangsung rutin, tahun 2003 dan 2004 diselenggarakan di Manila.
Hari Sabtu kemarin, saya menghadiri lagi sebuah konferensi, 64th Annual Conference of Midwest Political Science Association (MWPSA) di Chicago, sejam bermobil dari kota tempat saya belajar. Memang sungguh nikmat di sini, ada banyak sekali seminar, conference dan diskusi, baik besar ataupun kecil di berbagai tempat, di berbagai kota. Acara MWPSA ini berlangsung empat hari, ada ratusan session di dalamnya dan diramaikan oleh 3000 lebih hadirin yang mendaftar. MPWSA conference memang menjadi event besar yang ditunggu-tunggu kalangan akademisi, khususnya bidang political science. Event yang lebih besar lagi akan diadakan oleh American Political Science Association (APSA) beberapa bulan mendatang di Philadelphia.
Saya hadir di dua buah session. Satu mengenai comparative politics (desentralisasi di Asia Tenggara, khususnya Indonesia) dimana saya ikutan presentasi. Satu lagi adalah session dengan topik Measuring Violence in Conflicts. MWPSA mengorganisasi ratusan sessions dalam empat hari itu dan topiknya beragam juga, mulai dari studi konflik, congressional politics, politik international, foreign policy, gender, voting behavior, judicial politics, ada banyak sekali topik.
Tidak ada yang hebat dengan session presentasi saya itu. Karena, semua session (kecuali session-session besar yang diorganisasi langsung oleh MWPSA) adalah session usulan dari para peserta sendiri. Memang konferensi ini diadakan agar para political scientists (dan juga graduate atau PhD students dalam bidang political science) di Amerika bisa mempresentasikan penelitian yang sedang atau baru saja mereka selesaikan, untuk mendapat input, kritik, atau memberi inspirasi bagi kolega akademisnya.
Jadi, session mengenai desentralisasi di Indonesia itu kami usulkan ke panitia, yang tahun ini dipercayakan ke Indiana University di Bloomington, berbulan-bulan lalu. Syaratnya, kami diminta mencari 3 pembicara, 1 moderator dan 1 pembahas. Lalu, kami harus mengajukan abstrak/proposal dari setiap paper. Kalau panitia menganggap session yang diusulkan itu menarik, jadilah session usulan kita itu diselenggarakan, dan dimasukan ke booklet acara agar seluruh peserta konferensi bisa menimbang-menimbang untuk hadir. Kami mengusulkan session itu, karena kami punya paper yang kami tulis untuk mata kuliah Political Economy in Developing Areas yang membahas masalah desentralisasi di semester kemarin.
Semula iseng-iseng, nggak taunya diterima. Pembahasnya adalah professor kami dari NIU sendiri, Professor Dwight King, yang banyak mengkaji Indonesia, khususnya topik pemilu dan desentralisasi. Ryaas Rasyid dan Andi Malarangeng, yang menjadi arsitek program desentralisasi di Indonesia, adalah murid bimbingannya di NIU dulu.
Session itu kecil, juga di ruang kecil. Pada saat bersamaan, berlangsung pula session-session kecil di ruang-ruang kecil lainnya. Paling hanya 10-15 orang yang hadir di tiap session. Akan tetapi, yang hadir di session itu adalah orang-orang yang memang mendalami masalah sesuai dengan topik seminarnya. Karena itu, session berlangsung akrab, dan berguna sekali. Panitia ternyata memasukan dua pembicara dari universitas lain ke dalam session kami itu. Mereka berdua dari University of Wisconsin di Madison (UWM), dan mereka pengkaji Indonesia. Tidak mengherankan, karena UWM juga memiliki Center for Southeast Asian Studies seperti kampus saya NIU.
Usai session, break makan siang. Kami, hadirin dan pembicara session itu, memutuskan untuk pergi makan siang bersama di sebuah restaurant dekat Hotel Palmer Hilton Chicago tempat konferensi berlangsung. Kami menjadi akrab. Sebagai hasilnya, network baru terbentuklah. Selama makan siang kami ngobrol mengenai penelitian atau bidang kajian masing-masing. Kami berjanji akan saling menghubungi untuk sekedar bertukar informasi atau membantu kajian masing-masing.
Sepertinya, kelangkaan moment untuk saling berbicara dan berkomunikasi mengenai penelitian masing-masing inilah salah satu sebab yang membuat ilmu politik di Indonesia mandek dan tidak maju-maju. Karena tidak ada medium, maka tidak terbentuk epistemic community dalam bidang ilmu politik di negeri kita.
Antropologi jauh lebih maju. Di Indonesia, ada simposium international yang rutin diadakan tiap tahun oleh jurnal Antropologi Indonesia. Pesertanya dari Indonesia dan juga luar negeri. Panitianya juga memberi kesempatan untuk usulan membuka session, seperti yang umum dilakukan disini. Seorang professor di Departemen Antropologi NIU selalu datang ke simposium itu dari tahun ke tahun. Untuk political science, sebetulnya ada juga Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Tapi sepertinya juga tidak terlalu berkembang. AIPI juga punya jurnal, tapi tersendat. Entah kenapa, political scientists kita enggan menulis atau melakukan penelitian. Seorang kawan bahkan pernah dengan sinis berujar ke saya, “disertasi biasanya merupakan karya tulis terakhir, dan malah mungkin satu-satunya, dari para doktor bidang ilmu politik kita.”
Dekalb, 23 April 2006
philips vermonte
Saya, yang saat itu sedang studi S-2 di Adelaide, datang ke dua seminar. Satu mengenai politik internasional (Amerika dan politik global), satu lagi topiknya adalah Socialism in Our Contemporary World. Kedua-keduanya dipenuhi pengunjung, yang sebagian besar warga kota Adelaide dan juga ada warga dari kota lain. Yang jelas, acara itu memang diperuntukkan untuk warga kota. Makanya yang datang bukan hanya kalangan kampus saja.
Seminar mengenai Socialism in Our Contemporary World malah penuh sesak oleh pengunjung. Banyak yang tidak mendapat tempat duduk dan harus duduk di lantai. Pembicara topik itu adalah Arief Budiman, yang mengajar di University of Melbourne. Sessionnya berlangsung di Art Gallery, yang letaknya persis di sebelah kampus University of Adelaide tempat saya belajar.
Luar biasa, topik-topik yang sehari-harinya merupakan topik diskusi di kampus, didiskusikan bersama orang non-kampus dalam Festival of Ideas itu, bersama-sama dengan orang-orang yang bekerja di tempat-tempat swasta seperti bank, atau di kantor pemerintah, kurator museum, pedagang, karyawan perusahaan, bus driver, dan warga lain. Pemerintah kota Adelaide sangat terkejut dan gembira melihat antusiasme warganya, lalu memutuskan untuk menyelenggarakan Festival of Ideas setiap tahun, dan acara itu kemudian dijadikan ikon kota Adelaide.
Entah kapan Pemda DKI akan punya ide semacam itu. Mestinya warga kota Jakarta bisa menghadiri bazaar ide mengenai, misalnya, teknologi terkini pengelolaan sampah (yang bikin pusing kota Jakarta itu), problem urbanisasi dan transportasi kota, budaya lenong, diskusi film dan lagu warisan Benyamin Sueb, atau apa saja lah…he..he. Event semacam itu akan menjadi sebuah ruang publik yang bermanfaat, baik untuk Pemda maupun untuk warga Jakarta sendiri. Juga akan menjadi media relaksasi warga kota yang murah dan akan sangat luar biasa dampaknya. Seru kan kalau kita datang ke sebuah seminar dengerin Mandra presentasi soal budaya Betawi, lalu sesudahnya nonton pertunjukan barongsai atau tari topeng Betawi warna-warni?
Saya pernah membuat kelompok diskusi anak-anak muda di Jakarta. Kami bertemu dua minggu sekali, setiap hari Rabu malam sepulang kerja. Diskusi kami macam-macam topiknya, karena anggotanya juga macam-macam pekerjaannya. Ada dosen, peneliti, karyawan perusahaan swasta, aktifis LSM, wartawan, anggota parpol dan lain-lain. Anggota kelompok itu 10-15 orang yang aktif. Sekali waktu kami diskusi dengan topik Arsitektur Kota Jakarta. Kami mengundang Marco Kusumawijaya, arsitek kondang itu, dan Adep, ketua Sahabat Museum (organisasi non-profit yang sering membuat acara bulanan jalan-jalan ke berbagai tempat historik di Jakarta), untuk menjadi pembicara. Tidak kami sangka, rencana diskusi itu menyebar, mungkin via email. Malam itu yang hadir hampir 50 orang, dan bukan anggota kelompok diskusi kami. Ada arsitek, plannolog, karyawan Pemda, wartawan, bahkan ada mahasiswa planologi ITB jauh-jauh datang dari Bandung dan banyak lagi. Ruangan tempat kami biasa berdiskusi di Jalan Proklamasi malam itu penuh sesak. Malam itu saya semakin sadar bahwa kita perlu ruang publik lebih banyak, dan kota Jakarta terasa "kering kerontang" karena tidak memberi tempat untuk sisi humanis warganya.
Kantor saya CSIS pernah beberapa kali mengadakan acara semacam Festival of Ideas itu. Bedanya, peserta dan pembicaranya adalah undangan. Acara itu namanya ASEAN People’s Assembly (APA). Pertama kali diadakan di Batam di tahun 2000, yang kedua di Bali tahun 2002. Pesertanya sekitar 300-an orang, aktivis LSM dari negara-negara ASEAN. Juga ada beberapa peserta dari beberapa negara di luar kawasan Asia Tenggara. Acaranya berlangsung selama seminggu, topiknya beragam-ragam. Ada Human Rights di Asia Tenggara, kemajuan organisasi ASEAN, konflik etnis di Asia Tenggara dan lain-lain. APA kemudian berlangsung rutin, tahun 2003 dan 2004 diselenggarakan di Manila.
Hari Sabtu kemarin, saya menghadiri lagi sebuah konferensi, 64th Annual Conference of Midwest Political Science Association (MWPSA) di Chicago, sejam bermobil dari kota tempat saya belajar. Memang sungguh nikmat di sini, ada banyak sekali seminar, conference dan diskusi, baik besar ataupun kecil di berbagai tempat, di berbagai kota. Acara MWPSA ini berlangsung empat hari, ada ratusan session di dalamnya dan diramaikan oleh 3000 lebih hadirin yang mendaftar. MPWSA conference memang menjadi event besar yang ditunggu-tunggu kalangan akademisi, khususnya bidang political science. Event yang lebih besar lagi akan diadakan oleh American Political Science Association (APSA) beberapa bulan mendatang di Philadelphia.
Saya hadir di dua buah session. Satu mengenai comparative politics (desentralisasi di Asia Tenggara, khususnya Indonesia) dimana saya ikutan presentasi. Satu lagi adalah session dengan topik Measuring Violence in Conflicts. MWPSA mengorganisasi ratusan sessions dalam empat hari itu dan topiknya beragam juga, mulai dari studi konflik, congressional politics, politik international, foreign policy, gender, voting behavior, judicial politics, ada banyak sekali topik.
Tidak ada yang hebat dengan session presentasi saya itu. Karena, semua session (kecuali session-session besar yang diorganisasi langsung oleh MWPSA) adalah session usulan dari para peserta sendiri. Memang konferensi ini diadakan agar para political scientists (dan juga graduate atau PhD students dalam bidang political science) di Amerika bisa mempresentasikan penelitian yang sedang atau baru saja mereka selesaikan, untuk mendapat input, kritik, atau memberi inspirasi bagi kolega akademisnya.
Jadi, session mengenai desentralisasi di Indonesia itu kami usulkan ke panitia, yang tahun ini dipercayakan ke Indiana University di Bloomington, berbulan-bulan lalu. Syaratnya, kami diminta mencari 3 pembicara, 1 moderator dan 1 pembahas. Lalu, kami harus mengajukan abstrak/proposal dari setiap paper. Kalau panitia menganggap session yang diusulkan itu menarik, jadilah session usulan kita itu diselenggarakan, dan dimasukan ke booklet acara agar seluruh peserta konferensi bisa menimbang-menimbang untuk hadir. Kami mengusulkan session itu, karena kami punya paper yang kami tulis untuk mata kuliah Political Economy in Developing Areas yang membahas masalah desentralisasi di semester kemarin.
Semula iseng-iseng, nggak taunya diterima. Pembahasnya adalah professor kami dari NIU sendiri, Professor Dwight King, yang banyak mengkaji Indonesia, khususnya topik pemilu dan desentralisasi. Ryaas Rasyid dan Andi Malarangeng, yang menjadi arsitek program desentralisasi di Indonesia, adalah murid bimbingannya di NIU dulu.
Session itu kecil, juga di ruang kecil. Pada saat bersamaan, berlangsung pula session-session kecil di ruang-ruang kecil lainnya. Paling hanya 10-15 orang yang hadir di tiap session. Akan tetapi, yang hadir di session itu adalah orang-orang yang memang mendalami masalah sesuai dengan topik seminarnya. Karena itu, session berlangsung akrab, dan berguna sekali. Panitia ternyata memasukan dua pembicara dari universitas lain ke dalam session kami itu. Mereka berdua dari University of Wisconsin di Madison (UWM), dan mereka pengkaji Indonesia. Tidak mengherankan, karena UWM juga memiliki Center for Southeast Asian Studies seperti kampus saya NIU.
Usai session, break makan siang. Kami, hadirin dan pembicara session itu, memutuskan untuk pergi makan siang bersama di sebuah restaurant dekat Hotel Palmer Hilton Chicago tempat konferensi berlangsung. Kami menjadi akrab. Sebagai hasilnya, network baru terbentuklah. Selama makan siang kami ngobrol mengenai penelitian atau bidang kajian masing-masing. Kami berjanji akan saling menghubungi untuk sekedar bertukar informasi atau membantu kajian masing-masing.
Sepertinya, kelangkaan moment untuk saling berbicara dan berkomunikasi mengenai penelitian masing-masing inilah salah satu sebab yang membuat ilmu politik di Indonesia mandek dan tidak maju-maju. Karena tidak ada medium, maka tidak terbentuk epistemic community dalam bidang ilmu politik di negeri kita.
Antropologi jauh lebih maju. Di Indonesia, ada simposium international yang rutin diadakan tiap tahun oleh jurnal Antropologi Indonesia. Pesertanya dari Indonesia dan juga luar negeri. Panitianya juga memberi kesempatan untuk usulan membuka session, seperti yang umum dilakukan disini. Seorang professor di Departemen Antropologi NIU selalu datang ke simposium itu dari tahun ke tahun. Untuk political science, sebetulnya ada juga Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Tapi sepertinya juga tidak terlalu berkembang. AIPI juga punya jurnal, tapi tersendat. Entah kenapa, political scientists kita enggan menulis atau melakukan penelitian. Seorang kawan bahkan pernah dengan sinis berujar ke saya, “disertasi biasanya merupakan karya tulis terakhir, dan malah mungkin satu-satunya, dari para doktor bidang ilmu politik kita.”
Dekalb, 23 April 2006
philips vermonte
0 Comments:
Post a Comment
<< Home