Wacana Sosial Demokrasi
Membangkitkan (Kembali) Wacana Sosial Demokrasi
Sinar Harapan, Rabu 29 Agustus 2001
Oleh Philips Jusario Vermonte
Tiga dekade lalu, Herbert Feith dan Lance Castles mempublikasikan buku Indonesian Political Thinking: 1945-1965 yang merekam pemikiran politik di Indonesia. Dalam buku itu, Feith dan Castles menyimpulkan bahwa sampai pada tahun 1965, terdapat lima aliran pemikiran politik di Indonesia. Kelima aliran tersebut adalah Islam (yang ketika itu direpresentasikan oleh partai NU dan Masyumi), sosial demokrasi (sosdem) , tradisionalisme Jawa, nasionalisme radikal (diwakili PNI), dan komunisme (PKI).
Dari kelima pikiran tersebut, tiga diantaranya masih bertahan (Islam, tradisionalisme Jawa, dan nasionalis) yang tersebar ke dalam berbagai partai dan organisasi politik. Cukup mengherankan bahwa pemikiran sosdem surut dari jagad pemikiran politik Indonesia.
Salah satu alasan surutnya pemikiran sosdem adalah trauma politik atas pemberontakan PKI tahun 1965. Bangsa Indonesia cenderung menjadi alergi terhadap ide-ide sosialisme. Ditambah lagi dengan kecenderungan untuk serta merta mengasosiasikan sosialisme dengan komunisme, yang merupakan dua hal yang tidak sama. Walaupun keduanya merupakan varian dari sosialisme, namun keduanya tidaklah berjalan seiring. Komunisme adalah varian paling ekstrim dari sosialisme. Di Indonesia, para penganjur sosdem seperti Hatta dan Sutan Sjahrir misalnya, pada kenyataannya adalah musuh politik PKI yang terbesar.
Ide sosdem berkembang dari gerakan-gerakan buruh di Eropa. Namun, Hatta (1956) meyakini bahwa ide sosdem bisa diobservasi dari jauh dan bisa dikonfirmasikan kesesuaiannya dengan keadaan di Indonesia. Tokoh yang dianggap berpengaruh mengembangkan ide sosdem adalah Eduard Bernstein. Lewat bukunya Evolutionary Socialism (terbit tahun 1899), Bernstein menyerang ide-ide Marx yang memiliki berbagai kontradiksi internal dan bertentangan dengan demokrasi. Kaum sosialis, menurut Bernstein, harus mentransformasi masyarakat menuju keadilan sosial dengan cara-cara demokratis, bukan revolusioner seperti digagas Marx.
Berbeda dengan Marx yang meyakini bahwa institusi negara akan menghilang (whither away) digantikan kekuasaan proletariat, Bernstein berargumen bahwa institusi negara harus dipandang sebagai mitra. Dengan demokrasi politik, negara akan bisa diyakinkan untuk mengakomodasi hak-hak ekonomi dan politik kelas masyarakat yang terpinggirkan oleh kapitalisme.
Daur Ulang Pemikiran Sosdem
Gagasan Anthony Giddens, lewat dua bukunya, The Third Way: the renewal of social democracy (1998) dan sekuelnya The Third Way and its critics (2000), telah memicu pembaruan atas ide-ide sosdem. Ide klasik sosdem adalah orientasi mengatasi kesenjangan sosial ekonomi; perluasan kesempatan partisipasi kaum yang kurang beruntung; mewujudkan keadilan sosial dan demokratisasi. Kaum sosial demokrat, tulis Giddens, harus merevisi pandangan sosdem klasik untuk menghadapi paham neo-liberalisme yang kapitalistik.
Dua feature utama dari pandangan sosdem klasik adalah pemanfaatan kekuasaan negara untuk meng-counter laju bisnis swasta dan fokus pada upaya mengurangi kesenjangan material, antara lain melalui pajak progresif serta pengarahan negara (state provision) dalam pemberian jaminan pendidikan, kesehatan, pensiun dan jaminan kesejahteraan (welfare) lain untuk warga negara. Sementara, feature utama dari neoliberalisme menurut Giddens adalah pereduksian peran negara secara substansial dan reformasi sistem jaminan kesejahteraan untuk meningkatkan peran pasar (market provision) didalam bidang jaminan-jaminan kesejahteraan.
Sebagai alternatif bagi keduanya, Giddens mengemukakan gagasan sosdemnya yang : menolak intervensi negara, menolak ”practical equality” sebagai cita-cita sosdem, dan mempromosikan redistribusi kesempatan sebagai solusi mengatasi inequality.
Bila dihadapkan pada konteks Indonesia, pemikiran Giddens perlu dikritik. Pemikiran Giddens tampak sangat tipis perbedaannya dari pemikiran neo-liberal, sehingga sulit ditemukan signifikansinya. Disamping itu, tampaknya Giddens menganggap kesenjangan sebagai sesuatu yang ”given”. Akibatnya, persamaan (equality) bukanlah tujuan dari politik Third Way. Third Way tidak ditujukan untuk me-redistribui kemakmuran (wealth) dan pendapatan (income). Oleh Giddens, persamaan hanya diterjemahkan sebagai redistribusi kesempatan (opportunities),
Di Indonesia, dimana margin bawah kesenjangan masih rendah, cita-cita persamaan melalui redistribusi pendapatan dan kemakmuran tentu tetap relevan. Sementara itu, redistribusi kesempatan hanya bisa diwujudkan melalui pendidikan. Dalam hal ini, gagasan Third Way untuk mengurangi intervensi negara menjadi tidak relevan. Di Indonesia, peran negara justru sangat dibutuhkan dalam bidang pendidikan. Secara praktis, dalam terma sosdem, bila tingkat dan kualitas pendidikan warga negara semakin tinggi, akan semakin tinggi pula tingkat job-security.
Bung Hatta dalam sebuah pidatonya berjudul Colonial Society and the ideals of social democracy telah lama menegaskan bahwa demokrasi dan kapitalisme Barat telah meninggalkan cita-cita Revolusi Prancis. Penyebabnya adalah setelah revolusi Prancis membebaskan (liberate) indvidual dari cengkeraman feodalisme, dimensi equality dan fraternity dilupakan.
Oleh karena itu, demokrasi di Indonesia harus disandarkan pada ciri masyarakat Indonesia yang kolektivistik dan tidak boleh dibiarkan menjadi demokrasi elitis. Akar kolektivisme kita mudah ditemukan, misalnya di Minangkabau dengan konsep nagari-nya. Selain itu, dibanyak daerah, demokrasi di desa-desa di Indonesia dulu tetap bisa survive, walaupun diperintah oleh raja-raja feodal atau pemerintah kolonial.
Sebab utamanya adalah bahwa ketika itu faktor produksi terpenting masyarakat agraris yaitu tanah, tetap dimiliki penduduk desa secara kolektif. Dalam konteks kekinian, kata kuncinya adalah transparansi dan akuntabilitas publik. ***
Penulis adalah peneliti Centre for Strategic and International Studies –CSIS, Jakarta).
Sinar Harapan, Rabu 29 Agustus 2001
Oleh Philips Jusario Vermonte
Tiga dekade lalu, Herbert Feith dan Lance Castles mempublikasikan buku Indonesian Political Thinking: 1945-1965 yang merekam pemikiran politik di Indonesia. Dalam buku itu, Feith dan Castles menyimpulkan bahwa sampai pada tahun 1965, terdapat lima aliran pemikiran politik di Indonesia. Kelima aliran tersebut adalah Islam (yang ketika itu direpresentasikan oleh partai NU dan Masyumi), sosial demokrasi (sosdem) , tradisionalisme Jawa, nasionalisme radikal (diwakili PNI), dan komunisme (PKI).
Dari kelima pikiran tersebut, tiga diantaranya masih bertahan (Islam, tradisionalisme Jawa, dan nasionalis) yang tersebar ke dalam berbagai partai dan organisasi politik. Cukup mengherankan bahwa pemikiran sosdem surut dari jagad pemikiran politik Indonesia.
Salah satu alasan surutnya pemikiran sosdem adalah trauma politik atas pemberontakan PKI tahun 1965. Bangsa Indonesia cenderung menjadi alergi terhadap ide-ide sosialisme. Ditambah lagi dengan kecenderungan untuk serta merta mengasosiasikan sosialisme dengan komunisme, yang merupakan dua hal yang tidak sama. Walaupun keduanya merupakan varian dari sosialisme, namun keduanya tidaklah berjalan seiring. Komunisme adalah varian paling ekstrim dari sosialisme. Di Indonesia, para penganjur sosdem seperti Hatta dan Sutan Sjahrir misalnya, pada kenyataannya adalah musuh politik PKI yang terbesar.
Ide sosdem berkembang dari gerakan-gerakan buruh di Eropa. Namun, Hatta (1956) meyakini bahwa ide sosdem bisa diobservasi dari jauh dan bisa dikonfirmasikan kesesuaiannya dengan keadaan di Indonesia. Tokoh yang dianggap berpengaruh mengembangkan ide sosdem adalah Eduard Bernstein. Lewat bukunya Evolutionary Socialism (terbit tahun 1899), Bernstein menyerang ide-ide Marx yang memiliki berbagai kontradiksi internal dan bertentangan dengan demokrasi. Kaum sosialis, menurut Bernstein, harus mentransformasi masyarakat menuju keadilan sosial dengan cara-cara demokratis, bukan revolusioner seperti digagas Marx.
Berbeda dengan Marx yang meyakini bahwa institusi negara akan menghilang (whither away) digantikan kekuasaan proletariat, Bernstein berargumen bahwa institusi negara harus dipandang sebagai mitra. Dengan demokrasi politik, negara akan bisa diyakinkan untuk mengakomodasi hak-hak ekonomi dan politik kelas masyarakat yang terpinggirkan oleh kapitalisme.
Daur Ulang Pemikiran Sosdem
Gagasan Anthony Giddens, lewat dua bukunya, The Third Way: the renewal of social democracy (1998) dan sekuelnya The Third Way and its critics (2000), telah memicu pembaruan atas ide-ide sosdem. Ide klasik sosdem adalah orientasi mengatasi kesenjangan sosial ekonomi; perluasan kesempatan partisipasi kaum yang kurang beruntung; mewujudkan keadilan sosial dan demokratisasi. Kaum sosial demokrat, tulis Giddens, harus merevisi pandangan sosdem klasik untuk menghadapi paham neo-liberalisme yang kapitalistik.
Dua feature utama dari pandangan sosdem klasik adalah pemanfaatan kekuasaan negara untuk meng-counter laju bisnis swasta dan fokus pada upaya mengurangi kesenjangan material, antara lain melalui pajak progresif serta pengarahan negara (state provision) dalam pemberian jaminan pendidikan, kesehatan, pensiun dan jaminan kesejahteraan (welfare) lain untuk warga negara. Sementara, feature utama dari neoliberalisme menurut Giddens adalah pereduksian peran negara secara substansial dan reformasi sistem jaminan kesejahteraan untuk meningkatkan peran pasar (market provision) didalam bidang jaminan-jaminan kesejahteraan.
Sebagai alternatif bagi keduanya, Giddens mengemukakan gagasan sosdemnya yang : menolak intervensi negara, menolak ”practical equality” sebagai cita-cita sosdem, dan mempromosikan redistribusi kesempatan sebagai solusi mengatasi inequality.
Bila dihadapkan pada konteks Indonesia, pemikiran Giddens perlu dikritik. Pemikiran Giddens tampak sangat tipis perbedaannya dari pemikiran neo-liberal, sehingga sulit ditemukan signifikansinya. Disamping itu, tampaknya Giddens menganggap kesenjangan sebagai sesuatu yang ”given”. Akibatnya, persamaan (equality) bukanlah tujuan dari politik Third Way. Third Way tidak ditujukan untuk me-redistribui kemakmuran (wealth) dan pendapatan (income). Oleh Giddens, persamaan hanya diterjemahkan sebagai redistribusi kesempatan (opportunities),
Di Indonesia, dimana margin bawah kesenjangan masih rendah, cita-cita persamaan melalui redistribusi pendapatan dan kemakmuran tentu tetap relevan. Sementara itu, redistribusi kesempatan hanya bisa diwujudkan melalui pendidikan. Dalam hal ini, gagasan Third Way untuk mengurangi intervensi negara menjadi tidak relevan. Di Indonesia, peran negara justru sangat dibutuhkan dalam bidang pendidikan. Secara praktis, dalam terma sosdem, bila tingkat dan kualitas pendidikan warga negara semakin tinggi, akan semakin tinggi pula tingkat job-security.
Bung Hatta dalam sebuah pidatonya berjudul Colonial Society and the ideals of social democracy telah lama menegaskan bahwa demokrasi dan kapitalisme Barat telah meninggalkan cita-cita Revolusi Prancis. Penyebabnya adalah setelah revolusi Prancis membebaskan (liberate) indvidual dari cengkeraman feodalisme, dimensi equality dan fraternity dilupakan.
Oleh karena itu, demokrasi di Indonesia harus disandarkan pada ciri masyarakat Indonesia yang kolektivistik dan tidak boleh dibiarkan menjadi demokrasi elitis. Akar kolektivisme kita mudah ditemukan, misalnya di Minangkabau dengan konsep nagari-nya. Selain itu, dibanyak daerah, demokrasi di desa-desa di Indonesia dulu tetap bisa survive, walaupun diperintah oleh raja-raja feodal atau pemerintah kolonial.
Sebab utamanya adalah bahwa ketika itu faktor produksi terpenting masyarakat agraris yaitu tanah, tetap dimiliki penduduk desa secara kolektif. Dalam konteks kekinian, kata kuncinya adalah transparansi dan akuntabilitas publik. ***
Penulis adalah peneliti Centre for Strategic and International Studies –CSIS, Jakarta).
0 Comments:
Post a Comment
<< Home