Empowering My Mind

"Imagination is more important than knowledge" -Albert Einstein

My Photo
Name:
Location: Jatinangor, Sumedang, West Java, Indonesia

Blog alumni HI Unpad Angkatan 1991, yang tersebar dimana-mana in many walks of life. Jurnalis, aktifis LSM, perusahaan swasta nasional dan multinasional, business entrepreneur, kantor pemerintah, dosen, peneliti dan lain-lain.

Tuesday, June 06, 2006

Bencana dan Akumulasi Pengetahuan

Tsunami di Aceh, gempa di Nias dan lalu di Jogjakarta. Tiga peristiwa bencana yang mengguncang kesadaran kita. Bencana sedahsyat tsunami dan gempa kemarin tentu membuat siapapun merasa lemah tak berdaya melawan kekuatan alam. Banyak juga orang yang menunjuk bencana itu sebagai laknat dari sang Pencipta bagi mereka yang tinggal di tempat-tempat itu. Saya ingat, di minggu-minggu awal pasca bencana tsunami di Aceh, seorang khatib shalat Jumat di kantor pusat Muhammadiyah di daerah Menteng Jakarta menyebut bahwa tsunami terjadi sebagai laknat karena penduduk Aceh terlalu suka menumpahkan darah dan berperang tiada henti. Usai shalat, hampir saja khatib itu menjadi sasaran kemarahan salah seorang petinggi Muhammadiyah yang kebetulan orang Aceh asli. Akhirnya sang khatib minta maaf.

Laknat atau bukan, bukan maksud saya membuat tulisan ini. Yang menjadi perhatian saya adalah seberapa jauh sebetulnya akal dan pengetahuan bisa membimbing kita dalam merespons saat-saat ketika alam menunjukan geliat kekuatannya?

Setelah gempa dan tsunami, tiba-tiba kita baru sadar bahwa kita memiliki ahli-ahli gempa dan tsunami yang handal dan kaliber internasional. Mereka bekerja diam-diam, ditengah apresiasi sangat minim dari masyarakat dan pemerintah kita terhadap dunia riset. Kita hampir tidak pernah ambil peduli terhadap mereka yang bekerja meng-akumulasi ilmu pengetahuan, melalui riset baik bidang eksakta maupun humaniora.

Pasca gempa kemarin saya iseng mengakses search engine di katalog perpustakaan kampus untuk mencari tahu soal gempa. Saya temukan beberapa ilmuwan Indonesia telah mempublikasikan hasil riset mengenai gempa di Indonesia, tidak tanggung-tanggung, di jurnal Nature edisi Maret 2006, kurang dari dua bulan sebelum gempa terjadi. Tulisan mereka sedikit banyak telah ‘memprediksi’ peristiwa gempa di Jogja itu, dengan perhitungan dan analisa ilmiah. Jurnal Nature adalah jurnal science paling terkemuka dan tentunya tidak sembarang hasil riset bisa dipublikasikan di sana. Rupanya dunia Barat lebih haus akan hasil riset kita, dibandingkan dengan kita sendiri.

Barusan saya baca majalah Tempo edisi terkini. Tentu saja laporan utamanya adalah mengenai gempa di Jogja itu. Ada cuplikan wawancara dengan seorang doktor kita, ahli bidang gempa tamatan sebuah universitas di Tokyo. Jepang mungkin adalah salah satu negara paling maju dalam bidang riset gempa, antara lain dimotivasi oleh kesadaran dan pengetahuan orang Jepang bahwa ruang hidup mereka terletak di wilayah rawan gempa. Orang Jepang telah mengembangkan pengetahuan untuk mengurangi kerusakan yang timbul akibat gempa. Mengapa kita di Indonesia yang juga hidup di wilayah rawan bencana, ring of fire, tidak pernah termotivasi melakukan hal serupa?

Ada bagian wawancara itu yang menghentak saya. Ini kutipannya:

“Pola kerusakan gempa 27 Mei mirip dengan gempa yang terjadi 4 Januari 1840 di Bantul dan Klaten. Gempa ini dicatat dalam buku Sejarah Gempa karya New Comb dan Mc. Com yang terbit 1987. Doktor dari Institut Riset Gempa, Universitas Tokyo, ini menunjukkan gempa tersebut ternyata melahirkan gempa susulan. Gempa susulan ini arah dan guncangannya makin luas. Gempa 1840, kata dia, disusul gempa 20 Januari 1867 yang meninggalkan area kerusakan yang jauh lebih besar. Gempa berikutnya, 28 Maret 1875, jauh lebih besar lagi. Berangkat dari kekhawatiran ini, ia mendesak pemerintah membuat peta sesar aktif yang ada di seantero Jawa dan Sumatera. Di Jawa ada beberapa sesar penting, di antaranya sesar Cimandiri di Pelabuhan Ratu (Sukabumi) dan sesar Lembang di Bandung”


Membaca wawancara di Tempo itu membuat saya makin menyadari betapa lemahnya kemampuan bangsa kita dalam mengakumulasi dan kemudian memanfaatkan ilmu pengetahuan. Gempa kemarin nyatanya ada presedennya beratus tahun lalu. Tsunami pun demikian. Juga tersedia catatan berbagai letusan gunung berapi: Krakatau, Tambora, Merapi, Galunggung, dan gunung Agung. Ironisnya, sejarah dan pengetahuan jarang sekali menuntun kita. Sebagian sebabnya, menurut saya, adalah karena kita tidak cukup memiliki apresiasi terhadap dunia riset dan ilmu pengetahuan. Juga karena kita hanya peduli hari ini, tidak pada masa lalu, apalagi masa depan.

Kadang kala kita menghibur diri ketika ada satu dua orang luar biasa Indonesia menjadi juara di ajang kompetisi science internasional, atau ketika ada ada satu dua orang Indonesia yang diakui kepakarannya di dunia internasional. Tapi mereka itu sangat sedikit jumlahnya, mungkin hanya merupakan noktah dari lautan ketertinggalan kita dalam bidang ilmu pengetahuan. Apalagi, sikap dan perilaku kita semua yang tidak kondusif bagi kemajuan ilmu pengetahuan di tanah air. Tentunya bukan maksud tulisan ini untuk mengatakan bahwa ilmu pengetahuan akan sanggup mengatasi kuasa alam. Pesannya adalah ilmu pengetahuan bisa mengurangi nestapa yang ditimbulkan dari sebuah bencana.

Saya jadi teringat sebuah buku karangan John Lewis Gaddis, seorang sejarawan hubungan internasional. Dalam bukunya yang berjudul “Strategies of Containment: a Critical Appraisal of American National Security Policy during the Cold War”, ia menunjukan bahwa Amerika Serikat bisa keluar sebagai pemenang dalam Perang Dingin antara lain karena presiden-presiden Amerika sejak Presiden Truman hingga Bush Senior menjalankan containment strategy yang pengetahuannya diakumulasi sedemikian rupa hingga menuntun kebijakan luar negeri Amerika dalam menangkal perluasan pengaruh Uni Soviet. Kata Gaddis, sejarah dan pengetahuan harus transferable.

Barusan saya selesai membaca sebuah novel karya salah satu penulis kesukaan saya, Michael Crichton, judulnya “State of Fear” (yah maklum sedang tidak ada kuliah, libur panjang musim panas bisa baca-baca novel…he..he).

Ide cerita novel ini sebetulnya biasa saja, mengenai kontroversi global warming. Akan tetapi, Michael Crichton berhasil membuatnya menjadi sebuah wahana perdebatan akademis yang ia sampaikan dalam bentuk dan bahasa yang lebih dipahami banyak orang. Crichton menyampaikan pandangan dua kubu yang bertentangan. Yang satu menyatakan bahwa global warming adalah fenomena kontemporer akibat industrialisasi yang meraja lela, yang lain menyatakan bahwa global warming adalah fenomena biasa karena sejak jutaan tahun lalu suhu bumi naik dan turun, yang merupakan proses alami bumi kita untuk mencari titik equilibriumnya.

Crichton mengutip berbagai data, grafik dan tabel valid dari sumber-sumber ilmiah seperti data set NASA dan laboratorium lain, jurnal-jurnal peer-review bidang science yang terkemuka, dan juga buku-buku yang kredibel, untuk menyampaikan argumen kedua kubu itu. Crichton menghabiskan waktu tiga tahun untuk melakukan riset sebelum memulai menulis novelnya itu. Mungkin sama lamanya dengan melakukan riset untuk disertasi…he..he. Yang jelas, dari novel itu saya bisa mendapat gambaran betapa akumulasi data ilmiah sangat penting untuk menuntun para pengambil keputusan, dan juga kita, sebelum dan sesudah bencana datang menghujam kita.

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Halo Bos Phillip,
Sedikit "comment" aja, walaupun nggak mutu juga commentnya:
Menurut gue bencana ini terjadi juga karena kita sudah banyak meninggalkan tradisi. Banyak dari masyarakat kita yg tidak dapat melihat lagi tanda2x alam serta meninggalkan tradisi sedekah laut, gunung dan tradisi2x/ritual2x tradisional lainnya. Kalo lihat orang dulu banyak yg melakukan tradisi2x yg menurut gue dengan melakukan tradisi2x tersebut membuat kita dekat dgn alam sehingga dapat melihat tanda2x kehendak alam.
Janganlah kita menganggap tradisi yg di lakukan oleh orang2x itu sebagai kuno, musrik dsb. Kita menganggap kuno dsb itu mungkin karena keterbatasan akal kita yg tidak dapat menerjemahkan dgn logika kita apa yg mereka lakukan. Keterbatasan akal kita itu tidak dapat menerangkan “isra-miraj”, ufo, santet, sedekah gunung dsb. Akankah di kemudian hari kita akan ada pembuktian ilmiah dari hal2x tersebut? Wallahualam.
Yg jelas beberapa bulan lalu gue denger ceritanya John Perkins (penulis “confession of an economic hitman”) waktu dia tinggal sama orang2x indian di amazon. Dia cerita kalau orang Indian ini sangat memegang erat tradisi dan membaca tanda2x alam dalam melakukan aktivitas sehari2x, sehingga mereka dapat terhindar dari bencana. Dia dgn mengikuti hal2x yg dilakukan indian2x itu membuat dia selamat selama di amazon, yg apabila kalau dia cuman mengandalkan akal/pengetahuannya saja, belum tentu dia bakal selamat. Dan dia (si John Perkins ini) mengajak kita semua utk mencoba mengikuti dan menggali tradisi2x yg ada di masyarakat kita. Karena tradisi inilah yg menjaga alam agar selalu dalam posisi setimbang.

7:58 AM  

Post a Comment

<< Home