Empowering My Mind

"Imagination is more important than knowledge" -Albert Einstein

My Photo
Name:
Location: Jatinangor, Sumedang, West Java, Indonesia

Blog alumni HI Unpad Angkatan 1991, yang tersebar dimana-mana in many walks of life. Jurnalis, aktifis LSM, perusahaan swasta nasional dan multinasional, business entrepreneur, kantor pemerintah, dosen, peneliti dan lain-lain.

Saturday, June 10, 2006

Data

Nico, kawan kuliah saya di NIU yang juga kolega peneliti di CSIS , beberapa hari lalu memperbolehkan saya membaca draft proposal yang sedang dia tulis untuk disertasinya. Topiknya menarik: party survival dalam kaitannya dengan regime change dan transformasi sistem politik. Menarik, karena Indonesia sedang dalam masa transisi, sehingga kajian ini relevan. Juga menarik karena saya pribadi sebetulnya tidak terlalu menggeluti topik-topik mengenai partai politik dan electoral system. Karena itu saya membaca proposal itu dengan rasa ingin tahu.

Saat membaca proposal itu, saya tersadar bahwa pengetahuan saya mengenai topik itu sangat minim. Mungkin juga karena tulisan Nico itu terlalu luar biasa (hua…ha…..ha…kalo Nico baca tulisan ini: serius nih Bung, ente jangan kira ini filsafat bola voli…he..he…). Akhirnya, saya cari-cari artikel lain untuk menambah pengetahuan mengenai topik ini. Bukan apa-apa, Nico minta saya kasih input setelah saya selesai membaca draftnya. Lah, ternyata pengetahuan saya nol belaka. Sialnya juga, saya belum pernah ambil mata kuliah tentang election system and political party ini.

Dari internet saya temukan beberapa bahan yang saya pikir bisa menjadi rujukan awal untuk mulai mengenali topik party politics dan electoral system ini. Yang pertama terbaca adalah sebuah artikel berjudul “Regime Type, Electoral Conduct and Political Competition in Africa”. Hal yang pertama-tama menarik perhatian saya dari tulisan ini adalah sebuah footnote yang diletakkan paling awal oleh penulis artikel itu. Dalam footnote ini, sang penulis mengucapkan terimakasih kepada seorang professor lain yang mau sharing data set-nya, yang memungkinkan dia meneliti dan membuat tulisan itu. Dengan kata lain, dia melakukan penelitian dan penulisan di atas bangunan data penelitian orang lain.

Memang demikianlah bekerjanya dunia akademik: sebuah temuan selalu dibangun di atas temuan orang lain. Hal semacam ini hanya mungkin terjadi karena si professor tadi bersedia men-share data mentah yang dia miliki, sehingga orang lain bisa mengolah data yang sama untuk melahirkan temuan lain. Saya semula berpikir, mungkin mereka berdua saling mengenal, makanya mau berbagi data. Saya paham bahwa data set adalah sesuatu yang mahal. Data mentah yang diperoleh dari penelitian di lapangan dengan jumlah sample yang besar, pasti mahal sekali biayanya. Mana mungkin orang mau berbagi data yang dikumpulkan dengan biaya mahal kepada orang lain?

Ternyata pikiran saya itu salah. Ada banyak sekali artikel yang mencantumkan footnote serupa: ucapan terimakasih kepada professor anu atau lembaga itu yang mau berbagi data set. Bahkan ada banyak yang menyediakan data mentah penelitian mereka online di internet, sehingga bisa diakses siapa saja. Beberapa lembaga dan universitas di Amerika (juga di Eropa) memang membuat data mentah hasil penelitian mereka available di internet. Salah satunya adalah University of Michigan, yang dikenal sebagai sumber data set penting untuk penelitian mengenai voting behavior di Amerika.

Tradisi semacam itu membuat ilmu politik di Amerika menjadi kaya dan maju paling tidak karena dua alasan. Pertama, orang bisa melakukan penelitian lanjutan dari penelitian terdahulu, melahirkan temuan baru, interpretasi baru atau memunculkan tema-tema baru, yang mungkin tidak terpikir oleh mereka yang pertama kali mengumpulkan dan membuat data set itu. Kedua, data set yang di share tentunya mendorong keterbukaan. Boleh jadi ada peneliti lain yang bisa mengkoreksi hasil olahan atau analisis dari pihak pertama yang memiliki data set itu. Atau bisa juga peneliti lain malah memperkuat analisis pihak pertama pemilik data set tersebut. Either way, keduanya sangat penting bagi kemajuan ilmu, termasuk ilmu politik, yang pada dasarnya merupakan proses thesis-antitesis-sintesis yang dialektis sifatnya.

Di tanah air kita, keadaannya tidak menggembirakan. Data, baik mentah ataupun olahan, sangat sulit diperoleh. Kalaupun ada, sangat mahal harganya. Coba saja tengok harga data statistik di Biro Pusat Statistik (BPS), hanya bisa terbeli oleh penelitian berdana besar. Peneliti individual seperti dosen-dosen ilmu sosial politik akan berpikir berkali-kali sebelum membeli data-data di BPS.

Saat pemilu 2004 lalu, polling dan survey tumbuh subur. Lembaga Survey Indonesia (LSI), yang kemudian terpecah dua itu, rajin melakukannya. Lembaga lain seperti LP3ES dan Forum Rektor juga melakukan hal serupa. Lembaga-lembaga tersebut memang menyampaikan temuan (baca: analisis) dari data yang mereka kumpulkan di lapangan kepada publik. Tentu kita masih ingat beberapa polling mereka menjadi kontroversial. Publik atau pihak tertentu yang tidak puas menuding lembaga-lembaga penyelenggara polling itu bias. Tuduhan lebih galak malah menyatakan bahwa lembaga-lembaga polling itu tidak independen alias tendensius dan memiliki agenda tertentu.

Sepertinya, publik kita terkejut dengan tradisi baru polling yang secara metodologis memang bisa “memperkirakan” hasil pemilu. Dengan metodologi sedemikian rupa, hasil pemilu sebetulnya bisa diperkirakan. Publik kita mungkin hanya terbiasa dengan “metodologi Orde Baru”, dimana hasil pemilu jaman Orde Baru dulu juga selalu bisa diperkirakan sebelum berlangsung: Golkar pasti akan menang mutlak…he..he..he.

LSI, LP3ES dan lembaga lain sudah memulai tradisi baru. Lembaga-lembaga ini akan berkontribusi lebih besar bagi pengembangan ilmu politik kita apabila mereka bersedia membuka data mentah mereka kepada publik. Supaya orang lain bisa melanjutkan, atau kalau perlu menguji keshahihan, analisis mereka mengenai pemilu yang lalu. Kalau ini terjadi, kajian ilmu politik di Indonesia akan semakin tumbuh subur.

Sebenarnya, beberapa polling itu terselenggara karena adanya dana bantuan dari lembaga funding internasional. Lembaga funding ini nota bene memperoleh dana dari pembayar pajak di negara asalnya. Dalam konteks demikian, rasanya para pembayar pajak negara itu sangat ingin apabila data-data yang pengumpulannya dibiayai oleh uang mereka bisa diakses publik secara luas.

Berkaitan dengan publikasi data set, preseden baik sudah dimulai oleh sebuah lembaga bernama UNSFIR (United Nations Support Facility for Indonesian Recovery). UNSFIR mensponsori penelitian yang dilakukan oleh pakar studi konflik dari University of Michigan bernama Ashutosh Varshney, bersama dengan Muhammad Zoelfan Tadjoeddin (peneliti UNSFIR di Jakarta) dan Rizal Panggabean (dari Universitas Gadjahmada). Penelitian mereka telah membuahkan sebuah laporan berkelas internasional bertajuk “Patterns of Communal Violence in Indonesia”. Data mentah penelitian yang dilakukan di beberapa propinsi itu telah diserahkan oleh UNSFIR kepada Bappenas tahun 2005 lalu. Maksudnya adalah agar data set itu dibuka kepada publik, sehingga orang lain bisa mengolahnya juga. Harapannya, kajian dan pemahaman mengenai konflik di Indonesia akan semakin maju lagi. Semoga lembaga-lembaga lain di Indonesia akan segera mengikuti langkah UNSFIR ini.

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

nice blog philips. apalagi sekarang fasilitas commnentnya tidak diskriminatif pada orang-orang yang tidak aktif bloging di blogspot...hehe...

soal data. Indonesia lebih maju...hehe... sebuah lembaga penelitian ada yang merasa cukup menampilkan hasil temuannya dalam iklan pada halam koran. atau seolah-olah mengutipanya dalam artikel-artikel pendek. masih ingat kan iklan yang mendukung kenaikan BBM oleh Freedom Institute dan ratusan intelektual selebritas kita di kompas?

just my two cents.

10:07 PM  

Post a Comment

<< Home