Resource Curse
Saya mungkin termasuk orang yang menganggap nasionalisme seperti yang kita pahami sekarang sudah usang. Umumnya, kita berpendapat bahwa ekonomi kita sangat liberal, tidak pro-rakyat. Orang lalu dengan terburu-buru berpaling pada nasionalisme sebagai alternatifnya.
Mereka yang mendalami studi political economy Indonesia segera bisa memukan bahwa kebijakan ekonomi Indonesia pada dasarnya tidak pernah liberal. Yang betul, menurut saya, sejak era Sukarno, sepanjang Orde Baru, hingga sekarang, kebijakan ekonomi Indonesia sangat statist alias state centric dan bahkan tidak pernah pro-rakyat. Sudah banyak sekali kajian mengenai hal ini, termasuk oleh Kunio Yoshihara mengenai kapitalisme semu di Asia Tenggara itu. Nasionalisme hanya jargon, dan karenanya terasa usang.
Pandangan mainstream di Indonesia sejak dulu hingga sekarang adalah menganggap (atau berharap?) bahwa negara adalah tumpuan utama dalam menggerakan ekonomi.
Di luar perdebatan nasionalisme versus liberalisme, saya sendiri punya perspektif lain. Menurut saya, kekayaan alam bukanlah premis bagi kemajuan dan kesejahteraan. Mungkin sebagian kita familiar dengan term "resource curse" alias "kutukan sumber daya alam". Ada kenyataan menarik bahwa semua negara yang kaya sumber alam, pada saat yang sama adalah juga negara miskin, korup dan hampir semuanya terjebak dalam autoritarianisme. Teori-teori lama sudah pernah mencoba menjelaskan hal ini. Misalnya, teori modernisasi yang berargumen bahwa penyebabnya adalah faktor internal, dan keterbelakangan pendidikan dan ketiadaan struktur modern dari negara bersangkutan. Sementara teori dependensia menekankan bahwa eksploitasi yang dilakukan oleh faktor eksternal lah penyebab kemiskinan itu. Kedua teori ini, yang populer tahun 1970-an dan 1980-an, tidak terlalu memuaskan, dan sekarang sudah semakin ditinggalkan.
Erika Weinthal dan Pauline Luong baru saja mempublikasikan hasil riset mereka di jurnal Perspectives on Politics edisi Maret 2006 mengenai resource curse. Tulisannya berjudul "Combating Resource Curse: an Alternative Solution to Managing Mineral Wealth". Mereka antara lain memberi contoh Nigeria (salah satu negara terkaya dalam hal pemilikan sumber daya alam mineral, termasuk juga minyak) yang sejak masa kemerdekaannya telah menghasilkan 350 milyar dollar dari oil revenue, tetapi ekonominya justru semakin terbenam. GDP per kapita Nigeria pada tahun 1970 adalah $ 1,134, sementara pada tahun 2000 malah turun menjadi hanya $ 1,084.
Contoh lain, selama periode 1965-1998 banyak sekali negara anggota OPEC yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang rendah atau malah negatif. Sebuah studi World Bank juga menunjukan bahwa 12 negara yang bergantung pada ekspor tambang dan 6 negara yang bergantung pada ekspor minyak adalah merupakan "highly indebted poor countries". Ditambah lagi, 6 dari 10 negara yang tercatat sebagai negara pengutang terbesar di Afrika ternyata adalah negara-negara yang bertumpu pada minyak sebagai ekspor utamanya.
Kita juga bisa melihat data dari World Bank Governance Research Indicators dan data Transparency International's Corruption Perception Index (CPI) yang menunjukan bahwa negara-negara eksportir utama bahan-bahan tambang dan minyak ada di list paling bawah, dikategorikan sebagai negara terkorup di dunia. Belum lagi ada banyak penelitian yang menunjukan bahwa negara kaya minyak dan bahan tambang umumnya terjebak dalam kemiskinan, income inequality dan high child mortality rate. Lebih jauh, studi Jensen dan Wantchekon (1999) juga menunjukan bahwa kekayaan alam justru menghambat transisi dan konsolidasi demokrasi, dan malah mendorong konsolidasi autoritarianisme.
Menurut saya, salah satu sebabnya adalah bahwa kekayaan alam (minyak yang sering membawa windfall profit, dan mineral) membuat negara yang bersangkutan (dan seringkali juga warga negaranya) menjadi penderita "rabun jauh" (myopia) yang gagal melihat jauh ke depan. Windfall profits dalam jangka pendek memang kelihatan menguntungkan. Tahun 1970-an, sumber utama kesejahteraan kita adalah windfall profits dari minyak. Dengannya pemerintah Orde Baru membangun rumah sakit, puskemas, SD inpres dan lain-lain.
Akan tetapi, dalam jangka panjang windfall profits lebih banyak mencelakakan. Karena adanya windfall profit, "negara" (atau penguasa) menjadi kaya, tidak bergantung pada penduduknya (tidak seperti umumnya di negara demokratis maju dimana negara dan penguasa bergantung pada warga negaranya lewat mekanisme pajak). Negara kaya minyak dan bahan tambang menjadi independent dalam berhadapan dengan warga negaranya, karena dia bisa "membeli" penduduknya lewat belanja negara populis (ya seperti bangun puskemas atau sekolah) dengan uang dari windfall profits.
Selain itu, windfall profit bukanlah sesuatu yang konstan. Karena terbuai dengan minyak dan mineral, negara "lupa" membangun long term development goals dan mengembangkan investasi non-mineral atau non-minyak. Mari kontraskan dengan Jepang, Korea atau Singapura. Mereka semua miskin sumber alam, tapi maju pesat karena terpacu untuk mengkompensasikan ketiadaan sumber alam melalui pengembangan sektor lain seperti teknologi dan jasa. Selain itu, negara kaya minyak dan tambang juga menjadi otoritarian karena independensi-nya dari citizen-nya sendiri.
Soal ini, Weinthal dan Long menulis satu paragraf dalam tulisan mereka itu, dengan memberi contoh khusus Indonesia. Mereka menulis: "for example, in the late 1960s and early 1970s Indonesia's state oil company, Pertamina, accrued large windfalls that generated rent-seeking opportunities for actors closely tied to the state; these mineral rents became a source of patronage for the Indonesian military. The long-term effects on Indonesia's economy are evident in the lack of foreign investment in new energy projects over the last decade and its unique distinction of becoming OPEC's first member to import oil in 2004".
Jadi buat saya persoalannya sama sekali bukan nasionalisme. Persoalannya adalah bagaimana komunitas pembuat kebijakan kita bisa come up dengan policy yang sound, well-informed and well-researched, bukan sekedar populis. Bukan sekedar memenuhi rasa nasionalisme yang abstrak.