Empowering My Mind

"Imagination is more important than knowledge" -Albert Einstein

My Photo
Name:
Location: Jatinangor, Sumedang, West Java, Indonesia

Blog alumni HI Unpad Angkatan 1991, yang tersebar dimana-mana in many walks of life. Jurnalis, aktifis LSM, perusahaan swasta nasional dan multinasional, business entrepreneur, kantor pemerintah, dosen, peneliti dan lain-lain.

Tuesday, May 30, 2006

Resource Curse

Tempo hari, terjadi diskusi hangat di sebuah milis. Topiknya mengenai negosiasi antara pemerintah Indonesia dan sebuah perusahaan Amerika Exxon Mobil mengenai pengelolaan minyak blok Cepu. Bukan kali ini saja perdebatan hangat terjadi. Seingat saya, persoalan negosiasi pengelolaan sumber daya alam dengan perusahaan asing (baca: perusahaan Amerika) seperti Freeport dan juga Newmont, selalu memicu ketegangan. Terutama antara mereka yang menganggap diri nasionalis dan mereka yang dituding liberal pragmatis.

Saya mungkin termasuk orang yang menganggap nasionalisme seperti yang kita pahami sekarang sudah usang. Umumnya, kita berpendapat bahwa ekonomi kita sangat liberal, tidak pro-rakyat. Orang lalu dengan terburu-buru berpaling pada nasionalisme sebagai alternatifnya.

Mereka yang mendalami studi political economy Indonesia segera bisa memukan bahwa kebijakan ekonomi Indonesia pada dasarnya tidak pernah liberal. Yang betul, menurut saya, sejak era Sukarno, sepanjang Orde Baru, hingga sekarang, kebijakan ekonomi Indonesia sangat statist alias state centric dan bahkan tidak pernah pro-rakyat. Sudah banyak sekali kajian mengenai hal ini, termasuk oleh Kunio Yoshihara mengenai kapitalisme semu di Asia Tenggara itu. Nasionalisme hanya jargon, dan karenanya terasa usang.

Pandangan mainstream di Indonesia sejak dulu hingga sekarang adalah menganggap (atau berharap?) bahwa negara adalah tumpuan utama dalam menggerakan ekonomi.

Di luar perdebatan nasionalisme versus liberalisme, saya sendiri punya perspektif lain. Menurut saya, kekayaan alam bukanlah premis bagi kemajuan dan kesejahteraan. Mungkin sebagian kita familiar dengan term "resource curse" alias "kutukan sumber daya alam". Ada kenyataan menarik bahwa semua negara yang kaya sumber alam, pada saat yang sama adalah juga negara miskin, korup dan hampir semuanya terjebak dalam autoritarianisme. Teori-teori lama sudah pernah mencoba menjelaskan hal ini. Misalnya, teori modernisasi yang berargumen bahwa penyebabnya adalah faktor internal, dan keterbelakangan pendidikan dan ketiadaan struktur modern dari negara bersangkutan. Sementara teori dependensia menekankan bahwa eksploitasi yang dilakukan oleh faktor eksternal lah penyebab kemiskinan itu. Kedua teori ini, yang populer tahun 1970-an dan 1980-an, tidak terlalu memuaskan, dan sekarang sudah semakin ditinggalkan.

Erika Weinthal dan Pauline Luong baru saja mempublikasikan hasil riset mereka di jurnal Perspectives on Politics edisi Maret 2006 mengenai resource curse. Tulisannya berjudul "Combating Resource Curse: an Alternative Solution to Managing Mineral Wealth". Mereka antara lain memberi contoh Nigeria (salah satu negara terkaya dalam hal pemilikan sumber daya alam mineral, termasuk juga minyak) yang sejak masa kemerdekaannya telah menghasilkan 350 milyar dollar dari oil revenue, tetapi ekonominya justru semakin terbenam. GDP per kapita Nigeria pada tahun 1970 adalah $ 1,134, sementara pada tahun 2000 malah turun menjadi hanya $ 1,084.

Contoh lain, selama periode 1965-1998 banyak sekali negara anggota OPEC yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang rendah atau malah negatif. Sebuah studi World Bank juga menunjukan bahwa 12 negara yang bergantung pada ekspor tambang dan 6 negara yang bergantung pada ekspor minyak adalah merupakan "highly indebted poor countries". Ditambah lagi, 6 dari 10 negara yang tercatat sebagai negara pengutang terbesar di Afrika ternyata adalah negara-negara yang bertumpu pada minyak sebagai ekspor utamanya.

Kita juga bisa melihat data dari World Bank Governance Research Indicators dan data Transparency International's Corruption Perception Index (CPI) yang menunjukan bahwa negara-negara eksportir utama bahan-bahan tambang dan minyak ada di list paling bawah, dikategorikan sebagai negara terkorup di dunia. Belum lagi ada banyak penelitian yang menunjukan bahwa negara kaya minyak dan bahan tambang umumnya terjebak dalam kemiskinan, income inequality dan high child mortality rate. Lebih jauh, studi Jensen dan Wantchekon (1999) juga menunjukan bahwa kekayaan alam justru menghambat transisi dan konsolidasi demokrasi, dan malah mendorong konsolidasi autoritarianisme.

Menurut saya, salah satu sebabnya adalah bahwa kekayaan alam (minyak yang sering membawa windfall profit, dan mineral) membuat negara yang bersangkutan (dan seringkali juga warga negaranya) menjadi penderita "rabun jauh" (myopia) yang gagal melihat jauh ke depan. Windfall profits dalam jangka pendek memang kelihatan menguntungkan. Tahun 1970-an, sumber utama kesejahteraan kita adalah windfall profits dari minyak. Dengannya pemerintah Orde Baru membangun rumah sakit, puskemas, SD inpres dan lain-lain.

Akan tetapi, dalam jangka panjang windfall profits lebih banyak mencelakakan. Karena adanya windfall profit, "negara" (atau penguasa) menjadi kaya, tidak bergantung pada penduduknya (tidak seperti umumnya di negara demokratis maju dimana negara dan penguasa bergantung pada warga negaranya lewat mekanisme pajak). Negara kaya minyak dan bahan tambang menjadi independent dalam berhadapan dengan warga negaranya, karena dia bisa "membeli" penduduknya lewat belanja negara populis (ya seperti bangun puskemas atau sekolah) dengan uang dari windfall profits.

Selain itu, windfall profit bukanlah sesuatu yang konstan. Karena terbuai dengan minyak dan mineral, negara "lupa" membangun long term development goals dan mengembangkan investasi non-mineral atau non-minyak. Mari kontraskan dengan Jepang, Korea atau Singapura. Mereka semua miskin sumber alam, tapi maju pesat karena terpacu untuk mengkompensasikan ketiadaan sumber alam melalui pengembangan sektor lain seperti teknologi dan jasa. Selain itu, negara kaya minyak dan tambang juga menjadi otoritarian karena independensi-nya dari citizen-nya sendiri.

Soal ini, Weinthal dan Long menulis satu paragraf dalam tulisan mereka itu, dengan memberi contoh khusus Indonesia. Mereka menulis: "for example, in the late 1960s and early 1970s Indonesia's state oil company, Pertamina, accrued large windfalls that generated rent-seeking opportunities for actors closely tied to the state; these mineral rents became a source of patronage for the Indonesian military. The long-term effects on Indonesia's economy are evident in the lack of foreign investment in new energy projects over the last decade and its unique distinction of becoming OPEC's first member to import oil in 2004".

Jadi buat saya persoalannya sama sekali bukan nasionalisme. Persoalannya adalah bagaimana komunitas pembuat kebijakan kita bisa come up dengan policy yang sound, well-informed and well-researched, bukan sekedar populis. Bukan sekedar memenuhi rasa nasionalisme yang abstrak.

Southeast Asian Nations Struggle for Democracy

The Jakarta Post Tuesday, March 07, 2006

Philips J Vermonte

Recent events in Southeast Asia tell us one thing: Establishing a democratic system is a very long process, with lots of ups and downs. In Thailand, Prime Minister Thaksin Shinawatra is facing tough resistance from the people, particularly the urban middle-class, who have long felt the prime minister has the potential to become an authoritarian leader. As has been widely reported, Thailand is now in a political stalemate and is struggling to find a constitutional way of resolving it.

In the Philippines, President Gloria Macapagal Arroyo a few days ago issued a controversial presidential proclamation imposing emergency rule on the country. As a result, President Arroyo also faces strong opposition from the people, and has been accused of behaving like ex-president Ferdinand Marcos in dealing with those who are critical of her government.

In the notorious military junta state Myanmar, the Peace and Development Council (SPDC) remains in power, and has shown no inclination to implement its promised "road map to democracy". The SPDC has stubbornly rejected calls from the international community to provide more space for the people to participate politically.

On the other hand, we witnessed peaceful transfers of power in Malaysia and Indonesia. Indonesians directly elected their President and Vice President in 2004, something that would have been unimaginable just a few years ago. After the severe economic crisis in 1997 and the political turmoil it caused during the period of 1997-1999, Indonesia has been slowly consolidating its democratic system. Some even call Indonesia the third largest democratic country in the world, yet only 10 years ago Indonesians lived under the undemocratic New Order government.

It is interesting to contrast between what is occurring in Thailand and the Philippines and recent history in Indonesia and Malaysia. The political events in Thailand and the Philippines suggest that mass politics in the two countries is tightly linked to formal political processes. For example, Thaksin plans to mobilize his supporters by staging a rally to counter the antigovernment demonstration carried out by the People's Alliance for Democracy (PAD).

In the Philippines, although Arroyo imposed a state of emergency -- she lifted it Friday -- mobilizing people is not an unprecedented political move in the country, which remembers very well the two successful People Power movements that toppled Ferdinand Marcos and Joseph Estrada from their respective presidencies just a few years ago. It was only last year that a huge number of Arroyo's supporters went onto the streets to counter the anti-Arroyo demonstrations being carried out by opposition groups, contributing to Arroyo's political survival during the crisis.

In fragmented societies, such as those in most Southeast Asian countries, political stability largely depends on the ability of the ruling classes in each society to overcome political, cultural or economical divides that exist among their people.

In his now classic article Consociational Democracy, Arendt Lijphart argued that when a society is split into sharp divisions, with no or very little overlapping membership or loyalty, when the political culture is deeply fragmented, movement toward moderate attitudes is absent. Meanwhile, political stability, in its democratic sense, depends on moderation.

One important variable for moderation that will result in political stability is the behavior of political leaders. It is true that elites might engage in strong competitive behavior, but there is also a possible scenario in which they might want to pursue cooperative behavior to counteract the destabilizing effects of fragmentation within their own society. It may take the forms of, among others, a grand coalition Cabinet or "cartel of the elite". UMNO in Malaysia would be the closest example of this conceptual proposition.

President Susilo Bambang Yudhoyono's Cabinet in Indonesia can also arguably be considered as another form of coalition since he has appointed several people who are not associated with his own party to serve as his ministers. It seems that the lack of accommodation among competing leaders explains why mass mobilization remains an effective tool to counter their opponents. The recent phenomena in Thailand and the Philippines are two cases in point.

However, placing too much emphasis on elites' willingness to cooperate and thus bring about democracy and political stability is also dangerous. Such an emphasis assumes that they act benignly, free from self-interest.

Therefore, it needs to be noted that there is at least one condition that must be met in order for this sort of cooperation to work in a fragmented society: The perils of fragmentation must be understood. In a society where one political grouping is very strong and tends to dominate others, elites will not realize that their interest will be best served by cooperating with their rivals.

In this regard, the existence of a multiple balance of power is more favorable for cooperation. Crafting a multiple balance of power within the political system is something for which Southeast Asians still struggle.

The writer is a researcher at the Centre for Strategic and International Studies (CSIS) in Jakarta and is currently a graduate student in the Department of Political Science at Northern Illinois University, U.S.

Antara Demokrasi dan Elitisme

Sinar Harapan Rabu 1 Agustus 2001
Oleh Philips Jusario Vermonte

Diskusi tentang demokrasi senantiasa menarik perhatian dan seringkali memicu kontroversi tersendiri. Apalagi di Indonesia, yang tengah berjuang menuntaskan proses transisi menuju demokrasi. Kontroversi mungkin muncul karena beragamnya interpretasi atas istilah demokrasi itu sendiri. Lebih jauh, praktek demokrasi di berbagai negara di dunia pun hampir tidak mungkin seragam. Karena, sebagai sebuah konsep, demokrasi selalu mengalami dinamika pemikiran yang erat berkaitan dengan perjalanan historis sebuah bangsa.

Satu point yang bisa dijadikan sentral dalam membandingkan praktek demokrasi adalah bahwa pada umumnya demokrasi dimaknai sebagai ”demokrasi liberal konstitusional”. Di negara Barat, demokrasi direpresenta-sikan sebagai sebuah sistem politik yang tidak hanya ditandai oleh pelaksanaan pemilihan umum yang bebas dan fair, akan tetapi juga mengandung prinsip-prinsip supremasi hukum, pemisahan kekuasaan, perlindungan hak-hak individual seperti kebebasan berbicara, berkumpul, memeluk dan menjalankan agama serta perlindungan terhadap kepemilikan pribadi. Pengertian ini menyiratkan bahwa disamping pemilihan umum, berjalannya demokrasi juga ditentukan oleh praktek bernegara yang mengkedepankan perlindungan atas hak-hak individual. Sementara, bagian terpentingnya adalah bagaimana hasil-hasil sebuah pemilu dijalankan, serta bagaimana kekuasaan yang terbentuk setelah pemilu dioperasikan.

Fareed Zakaria, dalam tulisannya yang bertajuk ”The Rise of Illiberal Democracy” (Foreign Affairs, Desember 1997) menenggarai bahwa demokrasi di berbagai negara dunia, mulai dari Peru hingga Pakistan dan juga Slovakia misalnya, telah tumbuh dan berkembang tanpa mengikutsertakan liberalisme konstitusional di dalamnya.

Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa pemerintahan yang terbentuk melalui sebuah pemilu yang bebas dan adil, seringkali kemudian mengabaikan batas-batas konstitusional yang mereka miliki dan pada akhirnya mengabaikan hak-hak mendasar dan kebebasan warga negaranya. Fareed Zakaria berargumen bahwa untuk mencapai demokrasi yang matang, liberalisme konstitusional harus diku-kuhkan sebagai dasarnya. Tanpa sebuah dasar liberalisme konstitusional yang kukuh, perjalanan demokratisasi justru akan berujung pada pemerintahan yang otoriter, yang mungkin saja dihasilkan dari sebuah pemilu yang jujur dan adil.

Hal yang perlu dielaborasi lebih jauh adalah korelasi antara liberalis-me konstitusional dan demokrasi, dan prinsip-prinsip yang menjadi konsekuensi dari pertautan antara keduanya.

Dalam pengertian klasik, tentu saja demokrasi berarti bahwa seluruh warga negara berhak berpartisipasi dalam setiap pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi mereka, baik se-cara individual maupun kolektif. Pe-ngertian demokrasi yang kuat (strong democracy) ini merefleksikan adanya kebutuhan mendasar manusia untuk mengekspresikan diri. Demokrasi senantiasa dianggap penting karena secara intrinsik ia memenuhi kebutuhan mendasar tersebut.

Dalam pengertian modern, demokrasi berkonotasi perwakilan (representative democracy) yang mengandaikan bahwa suara publik yang mayoritas dilimpahkan kepada sedikit orang/elite, yang selanjutnya diberi kewenangan untuk memerintah atas nama suara publik mayoritas tersebut. Namun demikian, akar filosofisnya tetap sama yakni demi menjamin terpenuhi kebebasan individual.

Wajah elitis demokrasi liberal ini mengidap kelemahan yakni elitisme dalam demokrasi ini selanjutnya akan menumbuhkan elitisme cultural (Holinger, 1996). Kelas yang memerintah, dalam istilah Mosca ”the rulling class”, mengasumsikan diri menjalankan general will dari rakyat mayoritas. Kekhawatiran terbesar dari konsepsi semacam ini adalah munculnya tirani atas nama mayoritas. Di Amerika Serikat, ketakutan terhadap munculnya tirani atas nama mayoritas ini sangat mempengaruhi bangunan sistem politiknya.

Berbeda dengan praktek demokrasi di tempat lain yang umumnya bertujuan memberdayakan rakyatnya (empowering the people), demokrasi di Amerika Serikat terutama dijadikan sarana untuk mencegah seseorang atau sekelompok orang memiliki kekuasaan terlalu besar (Huntington, 1993). Karena itu, mereka yang terpilih melalui pemilu, dibatasi kekuasaannya dalam konstitusi dan jaminan kebebasan individual dalam hal berbicara, mendapatkan informasi dan pers, dan kebebasan beroposisi. Konkritnya, pembatasan dilakukan melalui mekanisme check and balance, federalisme, bills of rights dan judicial review.

Permasalahan lain yang membedakan demokrasi an sich dari demokrasi liberal konstitusional berpusat pada bagaimana kedua konsepsi ini memandang cakupan kewenangan memerintah. Demokrasi liberal konstitusional adalah tentang bagaimana membatasi kekuasaan, sementara ”de-mokrasi” adalah tentang proses mendapatkan dan mengakumulasikan kekuasaan.

Dapat disimpulkan bahwa demokrasi berkaitan dengan bagaimana memilih pemerintah dan atau ba-gaimana pemerintah mendapatkan legitimasi atas kekuasaan yang dipegangnya. Sementara, demokrasi liberal konstitusional adalah tentang bagaimana mengontrol, membatasi dan mengawasi jalannya kekuasaan tersebut.

Artinya, pemerintahan yang dihasilkan oleh pemilu yang demokratis belum tentu akan menjamin prinsip-prinsip liberal konstitusional. Misal-nya Alberto Fujimori yang ketika ber-kuasa di Peru membekukan konstitusi, yang notabene berarti mensubordinasi parlemennya. Walaupun, Fujimori terpilih melalui pemilu yang demokratis. Contoh lain adalah mantan Presiden Argentina Carlos Menem, yang semula adalah figur reformis.

Selama delapan tahun kekuasaannya, ia mengeluarkan hampir 300 dekrit presiden dan memerintah berdasarkan dekrit-dekrit tersebut. Jumlah ini sama dengan tiga kali jumlah seluruh dekrit presiden Argentina sejak tahun 1853! Kita pahami bahwa dekrit presiden mem-by pass wewenang yang seharusnya dipegang oleh parlemen atau dewan perwakilan se-bagai representasi suara rakyat.

Oleh karena itu, sistem demokratis kita harus dibangun dua arah. Pemerintahan Megawati, yang memiliki legitimasi kuat sebagai pemenang pemilu, harus memiliki political will un-tuk menjamin kekebebasan dan hak politik warga negara. Sementara itu, dari bawah kita harus mengorganisasikan diri membangun pranata-pranata kontrol terhadap kekuasaan, agar kekuasaan tidak menjadi hal yang elitis.

Philips Jusario Vermonte,
adalah peneliti Centre for Strategic and International Studies-CSIS, Jakarta.

Globalisasi dan Wacana Global Civil Society

Pikiran Rakyat Edisi 26 Maret 2002
Globalisasi dan Wacana Global Civil Society
Oleh PHILIPS JUSARIO VERMONTE

KONSEPSI civil society telah lama menjadi bahan diskusi berbagai kalangan. Akar-akar modernnya bisa ditelusuri dari Hegel, de Tocqueville, hingga Antonio Gramsci. Bila ditarik ke belakang, ide-ide yang kurang lebih sepadan bisa ditemukan pada konsepsi zaman Romawi mengenai civic virtue.

Di Indonesia selama ini konsepsi civil society lebih dipahami dalam kerangka Gramscian. Gramsci memandang civil society sebagai wilayah yang terletak di antara "negara" dan "pasar". Konsekuensi logisnya adalah, sebagaimana yang umumnya dipahami di Indonesia, wilayah civil society dianggap sebagai wilayah non-negara dan non-profit. Akibatnya, secara terburu-buru lembaga swadaya masyarakat (LSM) sering kali dianggap dan menganggap dirinya sebagai tonggak utama penegak civil society. Padahal, LSM hanyalah salah satu elemen penopang civil society.

Konsepsi Gramscian seperti tersebut di atas pada dasarnya perlu ditinjau ulang. Karena, pemahaman semacam itu tidak mampu menjelaskan beberapa fenomena yang berkembang. Ada banyak institusi yang diciptakan negara yang ternyata bergerak dalam arah penguatan institusi dan hak-hak sipil. Misalnya, Komnas HAM yang dibentuk oleh negara dan juga institusi Ombudsman. Di samping itu, media massa merupakan representasi dari hak-hak sipil untuk bersuara, sementara tidak bisa dipungkiri juga bahwa media massa merupakan lembaga profit. Oleh karena itu, seperti ditawarkan oleh Kusnanto Anggoro dan Richard Holloway dalam tulisannya "Civil Society, Citizens, Organizations, and the Transition to Democratic Governance in Indonesia" (2000), konsepsi civil society lebih tepat bila dipahami sebagai pertautan interaksi antara tiga sektor, yakni sektor pemerintah, bisnis dan sektor warganegara, dimana di dalamnya terjadi kerjasama penguatan partisipasi warga negara dan penegakan nilai-nilai kewarganegaraan seperti pluralisme dan lain-lain.

Tentang Global Civil Society

Pengertian yang terakhir ini, sedikit banyak bersinggungan dengan sebuah ide yang tengah mengemuka yakni global civil society. Elaborasi terhadap pengertian ini bisa ditemukan dalam sebuah laporan bertajuk "Global Civil Society 2001" yang secara resmi diterbitkan oleh London School of Economic and Political Science. Dalam pengantarnya untuk laporan ini, Anthony Giddens menyebutkan bahwa konsepsi global civil society erat kaitannya dengan fenomena globalisasi. Terlepas dari persetujuan atau penolakan terhadap globalisasi, Giddens menganjurkan untuk mencermati fenomena globalisasi yang multi dimensional secara serius.

Bila sejauh ini civil society menjadi bumper di antara 'negara' dan 'pasar' untuk mencegah salah satu dari keduanya menjadi terlalu dominan, demikian pulalah pengertian global civil society di tengah-tengah menguatnya kekuatan pasar dan upaya negara untuk mereformulasi klaimnya atas kedaulatannya. Artinya, seiring dengan semakin meng-globalnya demokrasi, ruang bagi civil society yang melampaui batas-batas tradisional negara juga dimungkinkan untuk dibangun. Giddens menyebutnya sebagai 'globalisation from below', yang menjadi penyeimbang bagi proses liberalisasi perdagangan yang digerakkan oleh perusahaan-perusahaan raksasa dunia pada satu sisi dan institusi negara pada sisi yang lain.

Laporan tersebut menyatakan bahwa pengertian global civil society bisa dipahami dalam pengertian posisi relatif terhadap globalisasi. Dalam pemahaman ini, terdapat empat posisi relatif terhadap globalisasi. Pertama adalah pendukung, yakni individu atau kelompok yang antusias terhadap globalisasi. Termasuk dalam kelompok ini adalah perusahaan-perusahaan transnasional dan aliansinya, yang bisa berarti individual ataupun 'negara'. Kelompok kedua adalah penolak, yakni mereka yang hendak membalikkan atau menghentikan proses globalisasi dan mengembalikan kekuatan nation-state. Bisa termasuk ke dalam kelompok kedua ini adalah kelompok yang bisa saja mendukung kapitalisme global namun menolak terbukanya batas-batas negara; kelompok 'kiri' yang menolak sama sekali kapitalisme global; kelompok nasionalis dan kelompok radikal agama serta kelompok-kelompok gerakan anti kolonialisme. Pada dasarnya, kelompok kedua ini hanya melihat bahwa proses globalisasi adalah berbahaya dan karena itu mereka menolaknya.

Kelompok ketiga, dimana global civil society termasuk di dalamnya, adalah kelompok reformis, yakni mereka yang menerima kenyataan kesalingtergantungan global dan potensi menguntungkan bagi kemanusiaan, akan tetapi tetap melihat adanya kebutuhan untuk memanusiakan (civilise) proses globalisasi ini. Kelompok global civil society adalah kelompok yang mendukung reformasi institusi ekonomi internasional, menuntut keadilan yang lebih luas dan menuntut prosedur-prosedur yang partisipatoris.

Sementara itu, kelompok keempat adalah kelompok yang tidak terlalu memperdulikan globalisasi, dalam pengertian tidak menolak atau menerimanya, namun memiliki agenda sendiri yang berdiri sendiri dari pemerintah, institusi ekonomi internasional ataupun perusahaan transnasional. Misalnya adalah kelompok-kelompok akar rumput dan pemberdayaan masyarakat.

Masyarakat sipil global bisa menjadi penyeimbang proses globalisasi yang diyakini memiliki sisi baik dan sisi buruk yang yang saling berhadapan. Untuk mengawalinya, pengertian civil society harus diperluas wilayahnya, tidak lagi dalam pengertian Weberian yang menempatkannya hanya dalam level negara-bangsa. Namun, konsepsi global civil society tidaklah hendak meminimalisasi peran negara. Akan tetapi ia bertujuan untuk mengadvokasinya, agar daya responsif dari institusi politik bernama 'negara' menguat untuk menjalankan perannya dalam memajukan kesejahteraan bersama warganya di tengah proses globalisasi.

Konsepsi ini juga berarti bahwa yang harus dilakukan adalah mendemokratisasikan demokrasi, yang bisa dilakukan baik oleh individu, bisnis ataupun negara, dan mendistribusi kekuasaan untuk mengkedepankan prosedur partisipatoris baik dalam level nasional atau perluasannya dalam level global.***

Penulis adalah peneliti CSIS Jakarta.

Monday, May 29, 2006

On Iraq War

Rethinking a war in Iraq: It is not about a PR push
The Jakarta Post, February 15, 2003
Philips Jusario Vermonte, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta.

The two-part article by Piers Gillespie (The Jakarta Post, Feb. 10 and 11) has tried to make a case for a war against Iraq. The writer agrees, directly or indirectly, that the war against Iraq is justifiable, but the U.S. needs to conduct some sort of "public relations" campaign using "the truth paradigm".

Therefore the U.S. would have to admit that the war "has as much to do with oil as it has to do with ridding the world of a tyrant who has chemical weapons". But where could we find a legitimacy for the U.S. to act against Iraq in the first place?

There are still some questions over the logic presented by the Bush administration before the international community to take Saddam Hussein out of his presidency.

Those who advocate the idea of preemptive war against Iraq frequently portray Saddam as "a reckless tyrant who, along with his firm intention to develop Iraq's ability in using those weapons of mass destruction (WMD), can pose a serious threat to international peace in general and to U.S. interests in particular".

This description comes from Saddam Hussein's past behavior towards Iraq's neighboring countries such as Iran or Kuwait. If so, where can we find a justification for the war against Iraq? Is war really unavoidable?

International relations experts John Mearsheimer and Stephen Walt argued in the latest edition of Foreign Policy journal that a war against Iraq is "unnecessary", and that the U.S. should instead increase efforts to contain Saddam Hussein as it successfully did against the Soviet Union and its nuclear weapons during the Cold War.

If the U.S. had successfully contained the Soviet Union and its communist allies for decades, why is it unable to do the same against a far weaker enemy? The above writers cite that in comparison with Egypt, which fought six wars between 1948 and 1973, and Israel that initiated at least three wars (in 1956 in Suez, the 1967 Six Day War and the 1982 invasion of Lebanon), Iraq can be considered less aggressive.

With Iran, as Mearsheimer and Walt observe, the "reckless" Saddam carefully examined his decision to go to war as he felt Iraq was vulnerable against Iran's hegemonic aspirations in the region. During the reign of the shah, Iran put constant pressure on Iraq through the issue of the Kurds. When Khomeini came to power in 1979 in Tehran, Saddam sensed a new threat to his secular regime, as Khomeini seemed determined to expand his Islamic revolution.

Not surprisingly, Saddam then launched a limited war against Iran. Iraq received solid support from foreign countries, including the United States, France and Kuwait, during the eight-year war.

An historical assessment is instructive here with regard to the actual capacity of weapons of mass destruction. Sarin gas released by Aum Shinrikyo, in a subway in Japan, caused 5,000 to fall seriously ill, but only 12 deaths. John Mueller and Karl Mueller have written in Foreign Affairs (May/June 1999) that it is not as easy as many people think to achieve optimum results using chemical and biological weapons.

Biological weapons "need to be dispersed in a very low-altitude aerosol cloud, which is very difficult to do. Explosive methods of dispersion, moreover, may destroy the organism." Also, "chemical weapons are virtually incapable of killing masses of people in open areas except when used in vast quantities." Unlike the U.S. or Israel for example, Iraq has a long way to go to arrive at a sophisticated level of mastering the use of WMD. Therefore, the issue is more about fear, not about Iraq's actual capacity to cause a large number of casualties by using the WMD.

The combination of a tyrant and weapons of mass destruction are clearly a threat that should be dealt with. Nevertheless, war is not the best option for at least two reasons. First, many doubt that the U.S. can really fulfill its commitment to rebuild Iraq after the war due to its unfortunate economic situation at home. The effort to topple Saddam alone is predicted to cost the U.S. between US$50 billion and $100 billion.

Secondly, regarding oil, is the cost of war (in terms of money and lives) to get access to Iraq's oil lesser than the U.S. and the rest of the world might get afterwards? Therefore, the likely U.S.-led war against Iraq is not about public relations or an advertising campaign -- since, in this case, it is hard to turn a bad product into a good one.

Lessons from Venezuela

Democracy interrupted: Lessons from Venezuela
Jakarta Post, May 24, 2002
Philips J Vermonte, Centre for Strategic and International Studies, Jakarta.

A study conducted jointly by two respectable institutions, the Institute for Economics and Social Research, Education and Information (LP3ES) and the Center for the Study of Development and Democracy (Cesda), concludes that the Indonesian Military (TNI) is still a major political player in the country's politics.

The study reveals that the TNI is still trying to reassert its political control over the civilian leadership (The Jakarta Post, May 10). The question of putting the military under civilian control frequently appears in the process of democratization.

Unfortunately, in the case of Indonesia, the cohesiveness of civilian leadership as the principal requirement of erecting civilian supremacy is non-existent.

It is represented at least in continuing debates on the amendment process of Indonesia's constitution.

The growing tendency from some part of civilian elites in the parliament to stop the process raises speculation that there will be a constitutional crisis, which many remind that the similar situation in the 1950s provided an entry point for the TNI to increase its social and political control.

Regarding this matter, recent political event in Venezuela provides lessons for Indonesia. The coup against the incumbent president Hugo Chavez aborted, then Chavez was able to regain his presidency. He revives his power with even more support from the armed forces, as well as from the Venezuelan people at large.

As widely reported, the saga begun when Chavez appointed new board of directors of the country's state-owned companies. Venezuela's trade unions protested the decision, organized a massive demonstration that turned into chaos after Chavez's supporters faced off with the anti-government demonstrators. Amidst the crisis, a clique consisted of top officials within the Venezuelan armed forces, declared its opposition to the president, demanded him to resign and installed Pedro Carmona -- a civilian businessman -- after the clique detained Chavez.

What had been seen in Venezuela was a mixture between mass and electoral politics. Thousands of people were on the street demanding Chavez to resign.

It therefore created a room for the military group to maneuver and overthrew the democratically elected president. In the very next day, thousands of Chavez supporters took on to the street triggered a political turmoil that finally forced Pedro Carmona to resign.

The Venezuelans, who may initially tolerate the attempted coup, were disappointed by Carmona's decisions to dissolve the National Assembly and also the Supreme Court. These decisions, in the view of the Venezuelan people, obviously threatened the country's democracy. Moreover, it would create precedent of coup and counter-coup, which in fact had been substantially reduced not only in Venezuela, but also in most of the Latin American countries for almost a decade.

It is worth noting that Venezuela has developed a modern electoral political system since the death of the former leader Juan Vincente Gomez, who ruled the country with iron hands, in 1935. Since then, as observed by Kornblith and Levine in their work Venezuela: The Life and Times of The Party System (1995), political parties has always been at the center stage of the Venezuelan politics.

Although surely there were periods of ups and down, the Venezuelan democracy continuously undergoes reform, including the one to make political parties "more participatory and subject to democratic control". The reform program carried out during 1980s has created more channels for citizen participation. As a result, democracy in Venezuela has become what Juan Linz and Alfred Stepan termed as "the only game in town". The Venezuelan people value democracy as procedural norms, as well as a source of legitimacy for anyone or any group seeking for power. In short, in the eyes of most Venezuelans, the only legitimate way to assume power is through democratic election.

Interestingly, Chavez's journey to the presidency is a pertinent example of the above statement. As a lieutenant colonel of the armed forces, Chavez staged a coup back in 1992, He failed, but was fortunate enough that president Rafael Caldera at that time granted an amnesty for him in 1994. Then, in the 1998 general election, Chavez secured the majority of the votes, which finally elevated him to the presidency.

It is crystal clear that for democracy to survive there must exist at least two conditions. First, democratic norms and procedures must be acknowledged both by leaders and people. Therefore, building a healthy party system must be regarded as a high priority. The healthy party system is needed for ensuring that political change will only occur in a democratic way. Second, the party system must be able to channel, defend and articulate the interest of the people, not the interest of the small circle of parties' elites.

There is another important lesson. The existing discussion on democratization has mostly focused on domestic challenges that can support or impede the successful efforts of the entire democratization process. However, the international dimension also needs to be taken into account, as it appeared in the case of Venezuela.

The Organization of American States (OAS) was quick to condemn the political move of Pedro Carmona and the military. It was widely regarded in the region as a coup. The statement was not surprising, since its members had agreed multilaterally at their annual meeting in 1991 "to adopt any measures deemed appropriate to restore democracy if one of their members were to be overthrown by non-constitutional means". The organization just recently renewed this important agreement.

In its new Inter-American Democratic Charter signed in September 2001, the members reinforce the previous agreement that the organization will never legitimize an unconstitutional interruption of the democratic order or an unconstitutional alteration of the constitutional regime occurred in any one of its member countries. The new charter stipulates several measures that can be taken by the Organization in dealing with such a case, including the postponement of the membership of the particular country.

Such a strong commitment certainly comes from a notion that democracy is the rights of the people of the American continent.

The same is apparently true for people in Indonesia and in Southeast Asia. Indonesia is at the point of no return to continue the democratization process. How the OAS handled the attempted coup in Venezuela presents another lesson that one possible way to guard our own democratization process is by promoting an environment conducive for the consolidation of democracy under the framework of regional organization,

Indonesia might seek support if there is any unconstitutional attempt to alter our newly established democratic system.

Wacana Sosial Demokrasi

Membangkitkan (Kembali) Wacana Sosial Demokrasi
Sinar Harapan, Rabu 29 Agustus 2001
Oleh Philips Jusario Vermonte

Tiga dekade lalu, Herbert Feith dan Lance Castles mempublikasikan buku Indonesian Political Thinking: 1945-1965 yang merekam pemikiran politik di Indonesia. Dalam buku itu, Feith dan Castles menyimpulkan bahwa sampai pada tahun 1965, terdapat lima aliran pemikiran politik di Indonesia. Kelima aliran tersebut adalah Islam (yang ketika itu direpresentasikan oleh partai NU dan Masyumi), sosial demokrasi (sosdem) , tradisionalisme Jawa, nasionalisme radikal (diwakili PNI), dan komunisme (PKI).

Dari kelima pikiran tersebut, tiga diantaranya masih bertahan (Islam, tradisionalisme Jawa, dan nasionalis) yang tersebar ke dalam berbagai partai dan organisasi politik. Cukup mengherankan bahwa pemikiran sosdem surut dari jagad pemikiran politik Indonesia.

Salah satu alasan surutnya pemikiran sosdem adalah trauma politik atas pemberontakan PKI tahun 1965. Bangsa Indonesia cenderung menjadi alergi terhadap ide-ide sosialisme. Ditambah lagi dengan kecenderungan untuk serta merta mengasosiasikan sosialisme dengan komunisme, yang merupakan dua hal yang tidak sama. Walaupun keduanya merupakan varian dari sosialisme, namun keduanya tidaklah berjalan seiring. Komunisme adalah varian paling ekstrim dari sosialisme. Di Indonesia, para penganjur sosdem seperti Hatta dan Sutan Sjahrir misalnya, pada kenyataannya adalah musuh politik PKI yang terbesar.

Ide sosdem berkembang dari gerakan-gerakan buruh di Eropa. Namun, Hatta (1956) meyakini bahwa ide sosdem bisa diobservasi dari jauh dan bisa dikonfirmasikan kesesuaiannya dengan keadaan di Indonesia. Tokoh yang dianggap berpengaruh mengembangkan ide sosdem adalah Eduard Bernstein. Lewat bukunya Evolutionary Socialism (terbit tahun 1899), Bernstein menyerang ide-ide Marx yang memiliki berbagai kontradiksi internal dan bertentangan dengan demokrasi. Kaum sosialis, menurut Bernstein, harus mentransformasi masyarakat menuju keadilan sosial dengan cara-cara demokratis, bukan revolusioner seperti digagas Marx.

Berbeda dengan Marx yang meyakini bahwa institusi negara akan menghilang (whither away) digantikan kekuasaan proletariat, Bernstein berargumen bahwa institusi negara harus dipandang sebagai mitra. Dengan demokrasi politik, negara akan bisa diyakinkan untuk mengakomodasi hak-hak ekonomi dan politik kelas masyarakat yang terpinggirkan oleh kapitalisme.

Daur Ulang Pemikiran Sosdem

Gagasan Anthony Giddens, lewat dua bukunya, The Third Way: the renewal of social democracy (1998) dan sekuelnya The Third Way and its critics (2000), telah memicu pembaruan atas ide-ide sosdem. Ide klasik sosdem adalah orientasi mengatasi kesenjangan sosial ekonomi; perluasan kesempatan partisipasi kaum yang kurang beruntung; mewujudkan keadilan sosial dan demokratisasi. Kaum sosial demokrat, tulis Giddens, harus merevisi pandangan sosdem klasik untuk menghadapi paham neo-liberalisme yang kapitalistik.

Dua feature utama dari pandangan sosdem klasik adalah pemanfaatan kekuasaan negara untuk meng-counter laju bisnis swasta dan fokus pada upaya mengurangi kesenjangan material, antara lain melalui pajak progresif serta pengarahan negara (state provision) dalam pemberian jaminan pendidikan, kesehatan, pensiun dan jaminan kesejahteraan (welfare) lain untuk warga negara. Sementara, feature utama dari neoliberalisme menurut Giddens adalah pereduksian peran negara secara substansial dan reformasi sistem jaminan kesejahteraan untuk meningkatkan peran pasar (market provision) didalam bidang jaminan-jaminan kesejahteraan.

Sebagai alternatif bagi keduanya, Giddens mengemukakan gagasan sosdemnya yang : menolak intervensi negara, menolak ”practical equality” sebagai cita-cita sosdem, dan mempromosikan redistribusi kesempatan sebagai solusi mengatasi inequality.

Bila dihadapkan pada konteks Indonesia, pemikiran Giddens perlu dikritik. Pemikiran Giddens tampak sangat tipis perbedaannya dari pemikiran neo-liberal, sehingga sulit ditemukan signifikansinya. Disamping itu, tampaknya Giddens menganggap kesenjangan sebagai sesuatu yang ”given”. Akibatnya, persamaan (equality) bukanlah tujuan dari politik Third Way. Third Way tidak ditujukan untuk me-redistribui kemakmuran (wealth) dan pendapatan (income). Oleh Giddens, persamaan hanya diterjemahkan sebagai redistribusi kesempatan (opportunities),

Di Indonesia, dimana margin bawah kesenjangan masih rendah, cita-cita persamaan melalui redistribusi pendapatan dan kemakmuran tentu tetap relevan. Sementara itu, redistribusi kesempatan hanya bisa diwujudkan melalui pendidikan. Dalam hal ini, gagasan Third Way untuk mengurangi intervensi negara menjadi tidak relevan. Di Indonesia, peran negara justru sangat dibutuhkan dalam bidang pendidikan. Secara praktis, dalam terma sosdem, bila tingkat dan kualitas pendidikan warga negara semakin tinggi, akan semakin tinggi pula tingkat job-security.

Bung Hatta dalam sebuah pidatonya berjudul Colonial Society and the ideals of social democracy telah lama menegaskan bahwa demokrasi dan kapitalisme Barat telah meninggalkan cita-cita Revolusi Prancis. Penyebabnya adalah setelah revolusi Prancis membebaskan (liberate) indvidual dari cengkeraman feodalisme, dimensi equality dan fraternity dilupakan.

Oleh karena itu, demokrasi di Indonesia harus disandarkan pada ciri masyarakat Indonesia yang kolektivistik dan tidak boleh dibiarkan menjadi demokrasi elitis. Akar kolektivisme kita mudah ditemukan, misalnya di Minangkabau dengan konsep nagari-nya. Selain itu, dibanyak daerah, demokrasi di desa-desa di Indonesia dulu tetap bisa survive, walaupun diperintah oleh raja-raja feodal atau pemerintah kolonial.

Sebab utamanya adalah bahwa ketika itu faktor produksi terpenting masyarakat agraris yaitu tanah, tetap dimiliki penduduk desa secara kolektif. Dalam konteks kekinian, kata kuncinya adalah transparansi dan akuntabilitas publik. ***

Penulis adalah peneliti Centre for Strategic and International Studies –CSIS, Jakarta).

Hegemoni Amerika

Kompas, Kamis, 20 September 2001

Hegemoni Amerika: Dari Ibnu Khaldun ke Huntington

Oleh Philips Jusario Vermonte

"When there is a general change of conditions, it is as if the entire creation had changed and the whole world been altered, as if it were a new and repeated creation, a world brought into existence anew".

Ibnu Khaldun, The Muqaddimmah

"American leaders should abandon the benign-hegemon illusion that a natural congruity exists between their interests and values and those of the rest of the world. It does not".

Samuel Huntington,The Lonely Superpower


SERANGAN terorisme ke dua kota simbol kemakmuran Amerika Serikat pekan lalu menyisakan berbagai pertanyaan penting untuk dijawab dan dipikirkan ulang mengenai hegemoni. Setelah berakhirnya Perang Dingin yang dipicu oleh bubarnya Uni Soviet (US) tahun 1991, dunia menyaksikan pergeseran struktur politik global. Selama lebih dari 50 tahun, dunia terbelah dalam struktur bipolar, dengan AS dan US berada pada dua kutub yang berbeda secara diametral. Bubarnya US kemudian menyisakan sebuah kutub, yakni AS menjadi kekuatan dominan.

Sejak itu, para pemikir negara-negara Barat, berusaha keras mendefinisikan lingkup global yang baru tersebut dan bagaimana menempatkan AS sebagai sebuah hegemon dalam struktur baru tersebut. Dalam kaitan ini, adalah menarik untuk mengkaji pemikiran dari dua ilmuwan yang hidup dalam dua zaman berbeda, yakni Ibnu Khaldun dan Samuel Huntington. Walaupun tentu saja memiliki perbedaan, di antara keduanya toh terdapat kesamaan penting bahwa keduanya hidup dalam zaman yang sedang menjalani perubahan mendasar struktur global di ruang tempat keduanya hidup.

Ibnu Khaldun adalah seorang pemikir besar Muslim dengan karyanya yang legendaris, The Muqaddimah, yang hidup pada tahun 1300-an. Samuel Huntington adalah professor ilmu politik di Universitas Harvard yang salah satu bukunya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, mungkin merupakan buku yang paling banyak menjadi referensi dalam wacana tentang politik global pada tahun 1990-an.

Pemikiran Ibnu Khaldun

Pemikiran Ibnu Khaldun sangat relevan dengan situasi politik global saat ini. Hal ini tercermin dalam sebuah tulisan Robert Cox berjudul Towards a Posthegemonic Conceptualization of World Order: Reflections on the Relevancy of Ibn Khaldun (1992). Melalui Muqaddimah, Ibnu Khaldun mengelaborasi bibit-bibit kemunduran Islam dan jatuh bangunnya kekhalifahan. Di masa hidupnya, walaupun secara kultural Islam masih berada dalam zaman keemasan, namun basis material dari hegemoni Islam ketika itu telah melemah. Misalnya, wilayah-wilayah Islam di Afrika Utara menghadapi tantangan dari suku-suku nomaden tradisional di satu sisi, dan kekuatan Kristen di sebelah utara yang menguasai alur Mediterania di sisi lain.

Di masa itu, kekuatan Kristen dan Yahudi juga mulai tampil sebagai kekuatan perdagangan. Invasi Mongol dari Timur juga mengerosi struktur yang telah terbangun, kota-kota peradaban Islam termasuk sistem irigasi dihancurkan, dan pajak-pajak Mongol merusak administrasi Islam. Ketika itu, Ibnu Khaldun telah dikenal sebagai ilmuwan besar. Ia konon dimintai nasihatnya oleh Pedro the Cruel dari Sevila dan juga penakluk dari Mongol, Tamerlane. Namun, Ibnu Khaldun menolak permintaan tersebut.

Ibnu Khaldun menaruh perhatian besar pada konsep "negara" dalam pengertian yang luas, terutama berkaitan dengan kemunculan (emergence), kedewasaan (maturity), dan kemundurannya (decline). Ibnu Khaldun menyimpulkan bahwa ekspansi kekuasaan akan mendorong penguasa pada perilaku korup, kemewahan, suap dan berbagai dekadensi lain yang menjauhkan rezim penguasa dari rakyatnya dan akhirnya menjadi sebab dari kemundurannya sendiri. Pada dasarnya ia menyatakan bahwa proses-proses politik akan menghasilkan sebuah political order. Proses ini bisa saja gagal, namun bukan disebabkan oleh bentuk atau sistem politik yang digunakan, namun oleh ketidakmampuan (inadequacies) kultur yang dominan dalam struktur politik tersebut dalam menjawab persoalan persoalan yang ada. Kemunduran ini hanya bisa dicegah oleh enlightened individual yang bisa melihat dan menjawab persoalan secara jernih dan mengidentifikasi sebab-sebab kemunduran dari dalam (inside) lingkungannya sendiri.

Pemikiran Huntington

Benang merah yang sama bisa dijumpai dalam berbagai tulisan Samuel Huntington. Walaupun tulisan awalnya mengenai the clash of civilization di jurnal Foreign Affairs tahun 1993 dihujani kritik tajam, melalui bukunya The Clash of Civilization Huntington mengelaborasi lebih jauh persoalan dominasi dan hegemoni AS secara lebih adil. Dalam buku tersebut Huntington memperingatkan AS untuk bersikap open-minded terhadap the otherness, termasuk pada Islam, peradaban Timur pada umumnya dan berbagai peradaban lain. Pendeknya, ia bersikap bahwa AS harus menghindarkan sikap-sikap hegemonik.

Dalam tulisannya yang berjudul The Lonely Superpower di Foreign Affairs (1999), Huntington menyatakan bahwa walaupun Amerika sekarang menjadi satu-satunya superpower, hal itu tidak berarti bahwa dunia saat ini berstruktur unipolar, seperti yang dianggap oleh banyak pihak. Pengertian unipolar mensyaratkan kondisi di mana dunia hanya memiliki satu superpower, tidak adanya major power yang signifikan dan hanya terdapat banyak minor power. Dengan demikian, dalam sebuah struktur unipolar, sebuah superpower akan mampu secara efektif menyelesaikan berbagai isu internasional sendirian, dan tidak ada kombinasi kekuatan lain yang mampu mencegahnya.

Situasi saat ini jauh dari pengertian unipolar. Struktur unipolar hanya pernah terjadi pada kekaisaran Romawi abad kelima dan kekaisaran Cina pada abad kesembilan belas. AS tidak bisa, menurut Huntington, berilusi menjadi hegemon dalam sebuah sistem multipolar. Karena, ada berbagai negara dengan kekuatannya mampu mengedepankan kepentingannya sendiri vis-a-vis Amerika, walaupun tidak bisa menjangkau wilayah yang global sifatnya. Contohnya adalah kekuatan Jerman dan Perancis di Eropa, Rusia di Eurasia, Cina dan Jepang di Asia Timur, India di Asia Selatan, Iran di Asia Barat Daya, Brazil di Amerika Latin, Afrika Selatan, dan Nigeria di benua Afrika.

Sementara itu, di level ketiga terdapat kekuatan lain yang potensial berkonflik, baik dengan kekuatan regional maupun dengan AS sebagai superpower. Di dalamnya termasuk Inggris dalam kaitannya dengan Jerman dan Perancis; Ukraina dalam hubungannya dengan Rusia; Jepang dalam hubungannya dengan Cina; Korea Selatan dalam kaitannya dengan Jepang; Pakistan dalam hubungannya dengan India; Arab Saudi dengan Iran; serta Argentina dalam hubungannya dengan Brazil.

Dengan kenyataan semacam ini, sebenarnya struktur politik global lebih bercorak uni-multipolar. Sehingga, secara alamiah adanya sebuah negara superpower akan menjadi ancaman bagi major power yang lainnya. Bukan tidak mungkin major power beraliansi menghadapi superpower. Misalnya, berbagai kerja sama keamanan Rusia dan Cina; dan Cina dengan India; atau "segitiga strategis" Rusia, Cina, dan India. Uni Eropa pun bisa dipandang sebagai upaya mencegah AS mendominasi struktur dunia yang multipolar. Karena itulah Huntington menyarankan agar AS berhati-hati mengelola kekuatan dan kekuasaannya.

Intisari dari pemikiran Ibnu Khaldun dan Huntington adalah bahwa perdamaian (dunia) akan lebih stabil apabila kekuatan-kekuatan dunia berpikir lebih jernih, inklusif dan saling bekerja sama. Dengan demikian, pemikiran ini lebih dekat kepada pengertian struktur multipolar. Berkaitan dengan sikap AS pascateror minggu lalu, adalah sangat bijaksana apabila AS tidak mempertunjukkan kedigdayaan militernya untuk membumihanguskan Afganistan, yang dicurigainya mendukung aksi terorisme di Washington dan New York.

Dunia akan lebih menghargai Amerika apabila langkah-langkah kooperatif bisa dipilih untuk memerangi terorisme dan tentunya diimbuhi harapan bahwa AS bersedia pula me-review kembali berbagai kebijakannya dan, dengan kekuatannya, terus mendukung tumbuh berkembangnya demokrasi di berbagai tempat di dunia. Karena, sesuai sebuah diktum saat ini, democracies don't go to war each other.

* Philips Jusario Vermonte, peneliti Centre for Strategic and International Studies-CSIS, Jakarta.

Edisi Khusus Media Indonesia

SATU INDONESIA, Edisi Khusus Akhir Tahun
Media Indonesia Jumat, 20 Desember 2002

Politik Luar Negeri Indonesia: Antara Idealisme dan Rasionalisme
Oleh: Philips Jusario Vermonte (Peneliti CSIS)

DALAM kata pengantarnya terhadap buku Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence (1976), George Kahin berargumen bahwa politik luar negeri Indonesia senantiasa amat dipengaruhi oleh politik domestik. Dan pada saat yang sama dipengaruhi oleh usaha untuk memperluas akses terhadap sumber-sumber daya eksternal tanpa mengorbankan kemerdekaannya.

Dari waktu ke waktu, argumen ini belum hilang relevansinya. Persoalan mencari titik kesetimbangan antara dinamika politik domestik dan usaha Indonesia mendapatkan sumber daya eksternal tanpa mengorbankan prinsip kemandirian dan kemerdekaan selalu menjadi persoalan pelik bagi setiap rezim pemerintahan kita, baik dari masa Soekarno hingga pemerintahan Megawati saat ini.

Persoalan inilah yang sejatinya berusaha dikonfrontasi oleh Bung Hatta dalam pidatonya Mendayung di Antara Dua Karang, yang disampaikan oleh Bung Hatta di muka Badan Pekerja Komite Nasional Pusat di Yogyakarta pada 1948. Hatta dengan jeli menangkap potensi konflik internal antarkelompok elite setelah persetujuan Linggarjati dan Renville. Ia menyimpulkan bahwa pro-kontra terhadap kedua persetujuan antara pemerintah Indonesia yang baru merdeka dan pemerintah kerajaan Belanda itu sebenarnya merupakan gambaran konkret dari dinamika politik internasional yang diwarnai pertentangan politik antara dua adikuasa ketika itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ketika itulah Hatta mulai memformulasikan adagium politik luar negeri kita yang bebas dan aktif.

Bila diamati dengan cermat, sebagaimana ditemukan dalam sebuah tulisan Bung Hatta di jurnal internasional terkemuka Foreign Affairs (vol 51/3, 1953), politik luar negeri bebas aktif diawali dengan usaha pencarian jawaban atas pertanyaan konkret: have then Indonesian people fighting for their freedom no other course of action open to them than to choose between being pro-Russian or pro-American? The government is of the opinion that position to be taken is that Indonesia should not be a passive party in the arena of international politics but that it should be an active agent entitled to determine its own standpoint. The policy of the Republic of Indonesia must be resolved in the light of its own interests and should be executed in consonance with the situations and facts it has to face.

Tampak jelas bahwa ide dasar politik luar negeri bebas aktif yang dikemukakan oleh Hatta sama sekali bukan retorika kosong mengenai kemandirian dan kemerdekaan, akan tetapi dilandasi pemikiran rasional dan bahkan kesadaran penuh akan prinsip-prinsip realisme dalam menghadapi dinamika politik internasional dalam konteks dan ruang waktu yang spesifik. Bahkan dalam pidato tahun 1948 tersebut, Hatta dengan tegas menyatakan, percaya akan diri sendiri dan berjuang atas kesanggupan kita sendiri tidak berarti bahwa kita tidak akan mengambil keuntungan daripada pergolakan politik internasional.

Pelajaran terpenting yang bisa kita ambil dari para founding fathers kita adalah bahwa politik internasional tidak bisa dihadapi dengan sentimen belaka. Namun, dengan realitas dan logika yang rasional. Contoh yang paling sering disebut adalah pilihan yang diambil Uni Soviet pada 1935 ketika ia harus menghadapi kelompok fasis pimpinan Hitler. Para pemimpin Uni Soviet menyerukan kader dan sekutunya di seluruh dunia untuk mengurangi permusuhan dengan kelompok kapitalis dan menyerukan dibentuknya front bersama melawan fasisme. Kemudian pada 1939, Uni Soviet mengadakan kerja sama nonagresi dengan musuhnya sendiri, Jerman. Dengan itu, Soviet terbebaskan untuk beberapa waktu lamanya dari ancaman penaklukan. Contoh inilah yang dikemukakan Hatta untuk menggambarkan betapa politik internasional sedapat mungkin dijauhkan dari prinsip sentimental dan didekatkan pada prinsip realisme.

Dalam menghadapi dilema di atas, Soekarno dan Soeharto--dua presiden yang lama berkuasa--menghadapinya dengan cara yang berbeda. Soekarno menjalankan politik luar negeri Indonesia yang nasionalis dan revolusioner. Hal ini tecermin dari politik konfrontasi dengan Malaysia, penolakan keras Soekarno terhadap bantuan keuangan Barat dengan jargon go to hell with your aid, dan pengunduran diri Indonesia dari keanggotaannya dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Landasan pemikiran Soekarno adalah Indonesia harus menolak perluasan imperialisme dan kembalinya kolonialisme. Dan pembentukan Malaysia, bantuan keuangan Barat serta PBB, dalam pemikiran Soekarno ketika itu, adalah representasi imperialisme dan kolonialisme.

Di lain pihak, Soeharto menghadapinya dengan cara yang berbeda. Soeharto dan Orde Baru-nya tidak menolak hubungan dengan negara-negara Barat, dan pada saat yang bersamaan berusaha untuk menjaga independensi politik Indonesia. Paling tidak hal ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa Indonesia melalui ASEAN menolak kehadiran kekuatan militer Barat di kawasan regional Asia Tengggara. Perlu diperhatikan bahwa Hatta, Soekarno, dan Soeharto bekerja dalam konteks Perang Dingin dengan fixed-premis-nya mengenai dunia yang bipolar, terbagi dua antara Blok Barat dan Timur.

Tren demokratisasi

Dengan berlangsungnya proses transisi menuju demokrasi, beberapa pertanyaan muncul: akankah sebuah rezim demokratis yang solid bisa dihadirkan di Indonesia? Ataukah rezim otoriter, dengan beragam bentuk dan levelnya, tetap mewarnai politik domestik Indonesia dan pada akhirnya wajah sentralistis dari perumusan kebijakan luar negeri kita tetap dominan?

Di sisi lain, politik internasional pun mengalami perubahan fundamental. Setelah Perang Dingin usai, yang ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin yang menyimbolisasi dunia yang bipolar dan pecah berantakannya negara Uni Soviet, format konstelasi politik internasional belum lagi menemukan bentuknya. Variabel yang harus diperhatikan pun semakin kompleks setelah terjadinya aksi terorisme ke New York dan Washington pada 11 September 2001. Perang melawan teror yang dikampanyekan Amerika Serikat di seluruh dunia, amanat demokratisasi dan juga tantangan-tantangan baru yang muncul setelah Perang Dingin membawa kita pada satu pertanyaan: di manakah dan bagaimanakah Indonesia menempatkan dirinya?

Tampaknya peristiwa 11 September 2001 dan segala konsekuensi yang mengikutinya menunjukkan dengan sangat jelas, baik kepada warga negara biasa ataupun para pembuat kebijakan, bahwa politik domestik Indonesia sangat terkait erat dengan dinamika politik internasional dan demikian pula sebaliknya. Bila dulu dikenal adagium foreign policy begins at home, yang menyiratkan pengertian bahwa politik luar negeri merupakan cerminan dari politik dalam negeri, maka kini kita bisa saksikan bahwa politik domestik bisa amat dipengaruhi oleh dinamika eksternal kita.

Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dalam pernyataan pers Departemen Luar Negeri (Deplu) yang dikeluarkan awal 2002 ini menyebut faktor 'intermestik', yakni keharusan untuk mendekatkan faktor internasional dan faktor domestik dalam mengelola diplomasi. Artinya, diplomasi tidak lagi hanya dipahami dalam kerangka memproyeksikan kepentingan nasional Indonesia ke luar, tapi diplomasi juga menuntut kemampuan untuk mengomunikasikan perkembangan-perkembangan dunia luar ke dalam negeri. Konsekuensi logis dari situsi ini adalah bahwa kita harus mampu berpikir outward-looking dan inward-looking pada saat bersamaan.

Sudah jelas bagi kita bahwa setelah Perang Dingin usai, isu utama dalam politik internasional bergeser dari rivalitas ideologis dan militer mejadi isu-isu mengenai kesejahteraan ekonomi yang mewujud dalam usaha meliberalisasi perdagangan dunia, demokrasi, dan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Singkatnya, di samping isu yang state-centric, isu-isu yang nonstate centric semakin mendapatkan perhatian.

Isu-isu ini tidak meniadakan isu keamanan dan isu militer lama, akan tetapi banyak aspek dari isu keamanan mengalami perubahan bentuk. Pada dekade 1990-an, isu keamanan nontradisional berbasis maritim semakin mengemuka. Statistik memperlihatkan bahwa isu keamanan nontradisional seperti pembajakan (piracy at sea), people smuggling, human-trafficking, serta isu small arms transfer semakin meningkat frekuensinya. Bagi negara kepulauan dengan batas wilayah yang terbuka dan luas seperti Indonesia, tentu saja hal ini menjadi persoalan yang harus mendapat perhatian utama.

Diplomasi kita telah berhasil mengadvokasi kepentingan Indonesia melalui diakuinya status Indonesia sebagai negara kepulauan melalui Law of The Sea Convention pada 1982. Dalam sebuah tulisannya, Professor Hasjim Djalal menyebutkan bahwa penerapan status kepulauan ini telah memperluas wilayah laut Indonesia hingga 5 juta kilometer persegi! Karena itu, menjaga kedaulatan dan keamanan laut dan udara di atasnya akan menjadi tantangan terbesar bagi Indonesia di masa yang akan datang. Hal ini tidak hanya menjadi tugas angkatan bersenjata kita untuk semakin mengorientasikan diri pada pengembangan kapasitas kelautan dan udara daripada terus-menerus bertumpu pada kekuatan teritorial darat yang bisa dikatakan semakin tidak relevan apabila dikaitkan jenis dan bentuk ancaman yang baru tersebut.

Tentunya, kebijakan luar negeri kita harus mampu meneruskan keberhasilan diplomasi bidang kemaritiman yang sudah berhasil dicapai dan menginkorporasikannya dengan tantangan berbasis maritim seperti tersebut di atas. Kelak kita perlu memilih apakah Indonesia akan memaksimalkan potensinya menjadi sebuah maritime power sungguhan atau hanya menjadikannya sebagai legenda historis nenek moyang.

Demokratisasi dan juga situasi eksternal yang berubah cepat juga menimbulkan situasi di mana keterlibatan sebanyak mungkin aktor, baik negara ataupun nonnegara, dalam kebijakan luar negeri Indonesia semakin tidak terhindarkan. Kasus Timor Timur menjadi pelajaran penting karena ia memperlihatkan bagaimana advokasi kelompok-kelompok nonnegara yang bergerak dalam bidang HAM sangat efektif dalam proses perjuangan masyarakat Timor Timur mencapai kemerdekaannya. Sementara, Indonesia sangat terlambat dalam melibatkan beragam aktor nonnegara dalam berbagai isu.

Kendala utamanya tampaknya terletak pada mindset kita bahwa kedaulatan negara dipahami sebagai sebuah konsepsi yang state-centric, sehingga isu-isu seperti hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan human security yang tentu saja akan melibatkan aktor-aktor nonnegara dianggap sebagai isu yang akan mereduksi kedaulatan dari state. Padahal, sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini, politik luar negeri harus dibimbing tidak hanya oleh prinsip-prinsip ideasional belaka, tapi harus pula dibimbing oleh prinsip-prinsip rasional. Ketika situasi dan tantangan yang ada semakin menuntut keterlibatan lebih banyak aktor untuk menghadapinya maka tidak ada pilihan lain selain mengakomodasinya. Di samping itu, demokratisasi menuntut keadaan ketika semua orang atau kelompok memiliki akses yang sama terhadap perumusan kebijakan, termasuk kebijakan luar negeri. Hal terakhir yang penting adalah prinsip bebas aktif harus ditafsirkan sebagai sebuah situasi di mana Indonesia bebas memilih dengan siapa ia bisa memajukan kepentingan nasionalnya secara aktif. Karena kita tidak lagi hidup dalam dunia dikotomis seperti pada masa Perang Dingin.

Only the Good Die Young

Tiga Keping Kenangan Saya Tentang Munir

Akhirnya, saya mengalahkan keraguan untuk menulis kenangan pribadi saya tentang Cak Munir. Bukan apa-apa, tentunya ada banyak orang lain yang jauh lebih dekat dan lebih pantas untuk menulis kenangan tentang almarhum. Rasanya tidak pantas kalau saya menulis kenangan pribadi ini. Tapi, karena keinginan dan penghormatan yang begitu kuat atas almarhum, saya memberanikan diri membuat serpihan kecil ini sebagai kenangan untuk Cak Munir.

***

Kepingan kenangan pertama, seingat saya, terbentuk tahun 2002. Saat itu, saya pertama kalinya terlibat dengan diskusi serius dengan Cak Munir. Teman-teman di INCIS (Institute for Civil Society Studies) yang didirikan para mantan aktifis mahasiswa UIN Ciputat mengundang saya hadir sebagai pembicara dalam sebuah seminar, dipasangkan dengan Cak Munir dan seorang petinggi TNI. Acara berlangsung di Jakarta Design Center, di daerah Slipi dengan topik berkisar soal hubungan sipil militer. Saya antusias, sebagai pemula dalam dunia perdiskusian karena belum lama bergabung dengan CSIS di pertengahan tahun 2001, dipasangkan dengan Munir. Hingga hari itu, Cak Munir hanya saya kenal lewat tulisan dan opininya di berbagai media massa. Dalam seminar, saya sungguh terpukau dengan kedalaman dan ketajaman analisisnya atas beragam persoalan. Dia juga seorang yang straight forward, bicara langsung pada tujuannya.

Dihadapannya, hari itu, saya betul-betul merasa tidak tahu apa-apa. Dari Cak Munir, hari itu juga, saya belajar tentang keteguhan dan kesungguhan untuk mendalami persoalan. Usai seminar, iseng-iseng saya bertanya kepadanya: "Mas, sampeyan kok kayak tidak punya rasa takut?". Munir tertawa kecil, dia bilang: "Bung, tubuh kita ini ternyata punya mekanisme tersendiri dalam mengatasi rasa sakit. Aku, waktu masih di Malang dulu, pernah diintegorasi aparat plus penyiksaannya. Lima menit pertama badan memang terasa sakit, tapi sesudah lima menit sakitnya sudah ndak terasa" kata Munir sambil terkekeh. "Lah, kalau sudah begitu, buat apa lagi rasa takut?"lanjutnya sambil tersenyum.


***

Kepingan kenangan kedua terjadi kurang lebih tiga atau empat minggu lalu. Suatu sore, Andi Widjadjanto (dosen di Universitas Indonesia), dan Smita Notosusanto (CETRO) menelpon saya. Rupanya, Andi yang seharusnya menjadi pembicara pendamping dalam sebuah diskusi live di radio Trijaya hari itu, mendadak ada keperluan lain. Keduanya meminta saya untuk menjadi pengganti. Tema-nya seputar RUU TNI yang kontroversial itu. Saya diminta menggantikannya. Ternyata, lagi-lagi saya berpasangan dengan Cak Munir. Saya mengiyakan permintaan itu dan langsung terbirit-birit berangkat dari CSIS di bilangan Tanah Abang III menuju studio radio Trijaya di komples RCTI di kawasan Joglo. Diskusi cukup hangat, walaupun sebenarnya jadi lucu. Karena kami berdua sama-sama orang "beriman" untuk urusan keyakinan perlunya menempatkan militer dibawah kontrol otoritas sipil. Di tengah break iklan, saya yang sudah mendengar rencana Cak Munir meneruskan studi di Belanda, bilang pada dia: "Cak, gimana ini. Sampeyan mau ke Belanda, tapi pasti masih dibutuhkan di sini. RUU TNI ini kan masalah besar". Munir hanya tertawa, dia bilang: "Philips, masalah begini akan selalu muncul, bahkan dari dulu". "Kalau nurutin problem ini, saya ndak akan jadi-jadi berangkat sekolah". Aal, rekan dari Imparsial yang menemani Cak Munir malam itu juga tersenyum.

Acara berlangsung jam 7 sampai jam 9 malam. Begitu selesai, kami bersama-sama keluar studio. Munir tampak masih segar, dia menggamit lengan saya. "Bung, jangan lama-lama di sini. Satu episode kehidupan barusan sudah selesai, ayo segera pergi untuk menangani episode yang lain", katanya bersemangat. Saya sungguh tercekat mendengar ini. Ujaran Munir ini membuka pemahaman saya yang baru tentang dirinya. Bahwa Munir adalah seseorang yang committed untuk setiap persoalan, dan selalu siap menghadapi persoalan baru.

Saya sempat lama-lama berpikir, dimana lagi saya pernah mendengar "ajakan"serupa dengan Munir itu. Akhirnya saya ingat, sebagai muslim, Tuhan pernah berfirman dalam surah Alam Nasyrah (Al Ishrak) yang kurang lebih artinya adalah: "dan begitu selesai dengan satu urusan, bersegeralah kamu mengerjakan urusan yang lain". Cak Munir, saya yakin, adalah orang yang menghayati agamanya tanpa pernah sibuk mengeluarkan teori agama. Setiap muslim juga tahu akan sebuah ajaran yang menyebutkan bahwa setiap langkah yang membawa seseorang lebih dekat kepada ilmu pengetahuan merupakan ibadah luar biasa di mata Tuhan. Dan Munir sedang melakukan itu ketika Tuhan memanggilnya pulang. Ia sedang dalam perjalanan menempuh ribuan kilometer, melintas zona waktu yang berbeda, dari Jakarta ke Amsterdam, untuk mencari ilmu pengetahuan. Ia berniat mereguk ilmu dari fountain of knowledge di kampus-kampus dan perpustakaan-perpustakaan di negeri Belanda dan juga mungkin Eropa.

***

Kepingan kenangan ketiga terjadi seminggu lalu, kali ini tanpa Munir. Kamis pekan lalu saya berada di kampus Sorbornne Paris, menghadiri sebuah konferensi tentang Asia Tenggara. Malamnya, seusai presentasi, saya bersama M. Najib Azca yang mengajar di Fisipol UGM dan Gerry van Klinken, ahli Indonesia yang lama mengajar di Australia dan sekarang bergabung dengan KITLV di Belanda, pergi makan malam di sebuah restoran Asia, dekat gereja Notre Damme di Paris yang indah. Usai makan, Gerry mengajak kami mencari kedai kopi untuk melanjutkan obrol-obrol soal Indonesia. "Saya yang traktir", katanya. Najib kebetulan pernah membaca dalam sebuah buku panduan, bahwa disekitar Sorbornne tempat kami menginap, ada sebuah café yang dulunya merupakan tempat minum kopi favoritnya Sartre, Picasso dan juga Hemingway.

Setelah mencari-cari dengan berjalan kaki, kami menemukan tempat itu. Terletak diperpotongan rue Bonaparte dan Saint-Michel yang membelah kota Paris. Di seberang café berdiri tegak sebuah gereja tua. Jadilah kami ngobrol berbagai hal disana. Sampai suatu waktu, terpikir oleh saya tentang Munir yang akan segera berangkat ke negeri Belanda. " Gerry, sudah tahu Munir akan sekolah ke Belanda minggu depan?", kata saya. Gerry van Klinken tampak antusias mendengar kabar ini. "Ah, jadi juga Munir berangkat sekolah lagi?"tanyanya. Lalu kepadanya saya mengulang pernyataan yang pernah saya sampaikan pada Munir di studio Trijaya dulu, tentang Munir yang perannya di Indonesia sangat dibutuhkan dalam wacana soal RUU TNI dan juga masa-masa penting pemilu saat ini.

Rupanya, respons Gerry van Klinken juga kurang lebih senada dengan jawaban Munir kepada saya dulu. "Masalah militer dalam politik di Indonesia masih akan selalu muncul. Jadi, memang kalau sekolah lagi akan bagus buat Munir dan juga mungkin akan bagus untuk gerakan HAM di Indonesia. Aura Munir sangat kuat, kalau dia pergi sebentar dan tidak berada di Indonesia, akan bagus untuk kaderisasi aktifis HAM di Indonesia". "Sama seperti ketika Munir menyerahkan organisasi Kontras kepada mereka yang lebih muda", begitu kata Gerry van Klinken.

Saya pikir betul juga. Untuk beberapa jenak lamanya, saya tidak memperhatikan lagi diskusi kami yang berpindah ke soal Ambon. Saya malah lantas membayangkan suasana dinamis dan diskusi-diskusi intensif antar mahasiswa asal Indonesia di Eropa umumnya, dan Belanda khususnya, yang akan semakin muncul dengan kehadiran Munir disana, untuk berbagi pemikiran, pemahaman dan pengalaman serta belajar bersama. Tapi Tuhan berkehendak lain.

***
Kemarin, ketika kabar berpulangnya Munir dikonfirmasi oleh kawan-kawan di Imparsial, rasa kehilangan yang amat sangat segera mendera. Terbayang oleh saya, rasa yang sama lebih dalam lagi menimpa orang-orang yang lebih dekat lagi dengan Munir daripada saya yang kadar hubungan dengan Munir biasa-biasa saja. Rasa haru yang aneh menyeruak dalam diri, di mobil dalam perjalanan pulang menuju ke rumah dari kantor. Radio M97FM, radio khusus musik rock klasik favorit saya, sedang mengudarakan lagu-lagu rock. Terpikir oleh saya sebuah lagu yang dilengkingkan oleh Bruce Dickinson, vokalis grup band heavy metal Iron Maiden yang terkenal pada era 1980-an itu: "Only the good die young....and the evil seems to live forever....only the good die young...". Cak Munir, selamat jalan!


Philips J Vermonte
Tanah Abang III, 8 September 2004.

Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer, yang akrab dipanggil Pram, berpulang kemarin. Di tahun 1960-an, sebagai tokoh utama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang sangat dekat dengan PKI, dia sangat ‘galak’. Pram keras berpendirian bahwa seni bukanlah hanya untuk seni. Bagi Pram yang revolusioner, seni harus mencerminkan realitas sosial dan harus bisa digunakan sebagai mesin penggerak perubahan sosial. Karena itu, banyak orang menyebut bahwa karya-karya Pram berciri realisme sosial.

Pram berseteru hebat dengan pegiat kebudayaan yang kerap disebut sebagai kelompok Manikebu, Manifes Kebudayaan. Pegiat Manikebu menolak determinasi seniman-seniman kiri, yang relatif berkuasa saat itu, untuk menjadikan seni dan kebudayaan sebagai alat revolusi. Di seberang Pram, berdirilah para budayawan aktifis Manikebu yang dimotori antara lain oleh Wiratmo Soekito. Di dalam kelompok Manikebu, ada juga Goenawan Mohammad (GM) yang kala itu masih muda usia.

Kisah perseteruan Manikebu dan Lekra saya temukan tidak sengaja di suatu hari di tahun 1993, saat masih kuliah di Bandung. Sebagaimana banyak mahasiswa lain di masa itu, saya sering pergi ke pasar loak Cikapundung, dekat alun-alun kota Bandung. Cikapundung terkenal sebagai tempat jual beli majalah-majalah bekas edisi lama.

Di sana bisa kita temukan juga edisi-edisi lama majalah Prisma yang merupakan arena pergulatan pemikiran para intelektual dan tokoh pemikir besar kita. Di majalah Prisma yang terbit rutin di tahun 1970-an dan 1980-an kita bisa baca tulisan-tulisan dari Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Mochtar Pabottingi, Dawam Rahardjo, Nurcholis Madjid dan banyak tokoh lain saat mereka berusia sekitar akhir 20-an atau pertengahan 30-an.

Tulisan panjang mengenai polemik Manikebu itu saya temukan di dalam rubrik Selingan majalah Tempo edisi lama, yang saya beli di Cikapundung. Bagi seorang mahasiswa seperti saya, yang lahir dan dibesarkan di masa Orde Baru, membaca polemik Manikebu sangat memberi inspirasi dan membuka mata betapa keringnya rezim Orde Baru yang mengharamkan pertarungan ide-ide. Sebaliknya, dari tulisan itu kita juga bisa belajar betapa menakutkannya jika kekuatan politik dominan memaksakan ide-nya, seperti Lekra menghantam Manikebu. Tapi, itulah sejarah, yang harus ditulis dengan jujur.

Lepas dari pilihan politiknya di tahun 1960-an dulu, Pram tetaplah sastrawan besar. Saya menyukai karya-karya Pram, seperti saya juga menyukai tulisan-tulisan GM di rubrik Catatan Pinggir majalah Tempo. Cara Pram bertutur dalam Tetralogi Pulau Buru amat indah dan menggugah semangat untuk melawan ragam penindasan. Mungkin semangat perlawanan itu yang menjadi alasan Kejaksaan Agung di masa Orde Baru melarang peredaran empat buku novel tetralogi: Bumi Manusia, Anak Segala Bangsa, Rumah Kaca, dan Jejak Langkah, yang dikenal sebagai Tetralogi Buru.

Melalui tetralogi, Pram berkisah mengenai semangat perlawanan kaum muda melawan kolonialisme di bumi Nusantara, lewat tokoh Minke, seorang pemuda Jawa berpandangan maju di zamannya, dan juga melalui tokoh Mas Marco dan Tjokro. Diceritakan juga Kartini dan Dewi Sartika.

Tokoh-tokoh dalam tetralogi seperti fiksi, tapi juga seperti sejarah kita yang nyata. Karena itu Pram sering juga disebut sebagai penulis novel sejarah. Pergulatan kisah dalam tetralogi serupa dengan kisah perjuangan para tokoh nasionalis awal kita, di tahun 1920-an dan 1930-an. Tokoh Minke, menurut banyak orang adalah representasi seorang tokoh pers nasional Tirto Adi Suryo. Sementara Mas Marco dan Tjokro, dalam novel Pram itu, tampak merujuk pada Marco dan Tjokroaminoto dan organisasi Sarekat Islam, yang merupakan dua tokoh dan organisasi penting dalam sejarah pembentukan nasionalisme Indonesia yang menghancurkan kolonialisme Belanda.

Suatu hari di tahun 1994, saya mewawancarai Pram di rumahnya, di daerah Utan Kayu Jakarta. Biasalah, wawancara untuk majalah Polar yang saya dan beberapa teman terbitkan di kampus saat kuliah di Bandung dulu. Ketika sampai di rumahnya, Pram sedang tidur siang. Istri Pram yang ramah menawarkan untuk menunggu. “Satu jam lagi paling sudah bangun”, katanya. Benar, tidak sampai satu jam Pram sudah bangun dan menemui kami, mengenakan celana training serta kaus kaki dan sandal. Waktu itu mungkin umur Pram sudah sekitar 70 tahun. Selama perbincangan, asap tak henti mengepul dari rokok Pram.

Pram adalah orang yang sangat energik, jelas tampak dari cara bicara dan pandangan matanya yang tajam. Dia bilang waktu itu, “sejarah dunia adalah sejarah orang muda. Jika angkatan muda mati rasa, matilah sejarah sebuah bangsa.” Kalimat itu yang saya ingat dari wawancara dengan Pram hingga sekarang.

Ketika ditanya mengenai pelarangan buku-buku karyanya oleh Kejaksaan Agung, Pram bilang: “Karangan saya adalah seperti anak saya. Mereka bebas menemukan jalannya sendiri, apakah akan dilarang atau diterima orang banyak”. Lagipula, kata Pram, “pelarangan tidak berarti apa-apa, karena ide tidak bisa di kerangkeng dan ide punya kaki. Dia akan bergerak sendiri, kalau tidak sekarang, ya pasti suatu hari nanti.”

Betul juga. Tubuh Pram yang terpenjara sebagai tahanan politik selama beberapa tahun di Pulau Buru, tidak menghalangi pikirannya yang terus bergolak. Bahkan di pulau Buru lah empat buku novel yang dahsyat itu tercipta. Proses penciptaan novel tetralogi pulau Buru itupun sangat luar biasa. Pram khawatir tidak mungkin bisa keluar dari Buru hidup-hidup dan menyelesaikan empat novelnya itu. Pram lalu memutuskan untuk mulai mengarang empat novel itu di dalam kepalanya, lalu menceritakannya secara lisan kepada rekan-rekannya sesama tahanan politik di pulau Buru. Pram dibebaskan dari Buru pada tahun 1979, lalu mengalami masa tahanan rumah hingga tahun 1992.

Jujur saja, saat mewawancarai Pram itu saya belum pernah membaca tetralogi pulau Buru. Modal wawancara cuma tulisan mengenai Manikebu itu. Setelah wawancara, saya bertekad akan mencari keempat novel itu dan membacanya. Akan tetapi, larangan Kejaksaan Agung dan teror Orde Baru rupanya sangat efektif. Jarang sekali orang menyimpan novel itu. Saya cari di Palasari, pasar buku di Bandung, tidak ada. Mungkin ada satu dua yang menyimpan, tapi tidak berani sembarangan menjual.

Jauh sebelum wawancara Pram itu, suatu hari di Palasari seorang penjual buku berbisik pada saya yang masih duduk di semester-semester awal kuliah: “Dik, mau nggak nih ada buku yang barusan dilarang Kejaksaan”. Saat saya bilang mau, ternyata dia menunjukan buku terjemahan karya Kunio Yoshihara, mengenai erzast capitalism. Buku itu diterbitkan Yayasan Obor, diterjemahkan menjadi “Kapitalisme Semu Asia Tenggara”. Kunio Yoshihara membahas kroni-kroni bisnis Suharto, dan juga kroni-kroni bisnis para penguasa otoriter lain di Asia Tenggara sepanjang 1970-an dan 1980-an. Ketika saya datang lagi ke toko yang sama untuk mencari buku-buku Pram, si penjual buku hanya menjawab dengan gelengan kepala.

Buku-buku karya Pram baru terbaca oleh saya di awal tahun 2001. Yang pertama tentunya adalah empat novel tetralogi itu. Berikutnya adalah novel berjudul Arok Dedes, baru Perburuan dan yang lainnya. Sepulang studi dari Australia di akhir tahun 2000, saya menjadi pengangguran beberapa bulan lamanya, sebelum lamaran kerja menjadi peneliti diterima. Jadi, ada banyak sekali waktu luang..he..he..he. Selama menganggur, teringat niat lama membaca buku-buku Pram yang saat itu telah dijual bebas.

Zaman berubah, buku-buku karya Pram mudah didapat. Tidak perlu lagi membeli dan membacanya sembunyi-sembunyi. Saya sering mendorong mahasiswa saya di Jakarta untuk menyempatkan membaca tetralogi itu, untuk melengkapi bacaan novel-novel pop yang banyak digandrungi sekarang. Agar kita tidak menjadi angkatan muda yang mati rasa justru di era ketika penguasa hampir tidak mungkin lagi memasung dan memenjara pikiran anak bangsanya sendiri.

Dekalb, 30 April 2006
philips vermonte

Dari Festival Ide ke Ilmu Politik Kita

Tahun 2000, dewan kota Adelaide mengadakan sebuah acara yang diberi nama Festival of Ideas, yang berlangsung dua hari. Uniknya, Festival of Ideas merupakan semacam bazaar seminar dengan puluhan topik yang dilangsungkan selama dua hari itu. Banyak topik berlangsung bersamaan, di gedung atau ruangan yang berbeda-beda. Kita harus cermat memilih topik yang tercantum di booklet, seminar mana yang ingin kita hadiri, karena semuanya menarik. Topiknya sangat beragam: perkembangan dunia film Australia, masalah etika kloning, politik internasional, sejarah Australia, pokoknya macam-macam. Acaranya free of charge, siapa saja boleh datang.

Saya, yang saat itu sedang studi S-2 di Adelaide, datang ke dua seminar. Satu mengenai politik internasional (Amerika dan politik global), satu lagi topiknya adalah Socialism in Our Contemporary World. Kedua-keduanya dipenuhi pengunjung, yang sebagian besar warga kota Adelaide dan juga ada warga dari kota lain. Yang jelas, acara itu memang diperuntukkan untuk warga kota. Makanya yang datang bukan hanya kalangan kampus saja.

Seminar mengenai Socialism in Our Contemporary World malah penuh sesak oleh pengunjung. Banyak yang tidak mendapat tempat duduk dan harus duduk di lantai. Pembicara topik itu adalah Arief Budiman, yang mengajar di University of Melbourne. Sessionnya berlangsung di Art Gallery, yang letaknya persis di sebelah kampus University of Adelaide tempat saya belajar.

Luar biasa, topik-topik yang sehari-harinya merupakan topik diskusi di kampus, didiskusikan bersama orang non-kampus dalam Festival of Ideas itu, bersama-sama dengan orang-orang yang bekerja di tempat-tempat swasta seperti bank, atau di kantor pemerintah, kurator museum, pedagang, karyawan perusahaan, bus driver, dan warga lain. Pemerintah kota Adelaide sangat terkejut dan gembira melihat antusiasme warganya, lalu memutuskan untuk menyelenggarakan Festival of Ideas setiap tahun, dan acara itu kemudian dijadikan ikon kota Adelaide.

Entah kapan Pemda DKI akan punya ide semacam itu. Mestinya warga kota Jakarta bisa menghadiri bazaar ide mengenai, misalnya, teknologi terkini pengelolaan sampah (yang bikin pusing kota Jakarta itu), problem urbanisasi dan transportasi kota, budaya lenong, diskusi film dan lagu warisan Benyamin Sueb, atau apa saja lah…he..he. Event semacam itu akan menjadi sebuah ruang publik yang bermanfaat, baik untuk Pemda maupun untuk warga Jakarta sendiri. Juga akan menjadi media relaksasi warga kota yang murah dan akan sangat luar biasa dampaknya. Seru kan kalau kita datang ke sebuah seminar dengerin Mandra presentasi soal budaya Betawi, lalu sesudahnya nonton pertunjukan barongsai atau tari topeng Betawi warna-warni?

Saya pernah membuat kelompok diskusi anak-anak muda di Jakarta. Kami bertemu dua minggu sekali, setiap hari Rabu malam sepulang kerja. Diskusi kami macam-macam topiknya, karena anggotanya juga macam-macam pekerjaannya. Ada dosen, peneliti, karyawan perusahaan swasta, aktifis LSM, wartawan, anggota parpol dan lain-lain. Anggota kelompok itu 10-15 orang yang aktif. Sekali waktu kami diskusi dengan topik Arsitektur Kota Jakarta. Kami mengundang Marco Kusumawijaya, arsitek kondang itu, dan Adep, ketua Sahabat Museum (organisasi non-profit yang sering membuat acara bulanan jalan-jalan ke berbagai tempat historik di Jakarta), untuk menjadi pembicara. Tidak kami sangka, rencana diskusi itu menyebar, mungkin via email. Malam itu yang hadir hampir 50 orang, dan bukan anggota kelompok diskusi kami. Ada arsitek, plannolog, karyawan Pemda, wartawan, bahkan ada mahasiswa planologi ITB jauh-jauh datang dari Bandung dan banyak lagi. Ruangan tempat kami biasa berdiskusi di Jalan Proklamasi malam itu penuh sesak. Malam itu saya semakin sadar bahwa kita perlu ruang publik lebih banyak, dan kota Jakarta terasa "kering kerontang" karena tidak memberi tempat untuk sisi humanis warganya.

Kantor saya CSIS pernah beberapa kali mengadakan acara semacam Festival of Ideas itu. Bedanya, peserta dan pembicaranya adalah undangan. Acara itu namanya ASEAN People’s Assembly (APA). Pertama kali diadakan di Batam di tahun 2000, yang kedua di Bali tahun 2002. Pesertanya sekitar 300-an orang, aktivis LSM dari negara-negara ASEAN. Juga ada beberapa peserta dari beberapa negara di luar kawasan Asia Tenggara. Acaranya berlangsung selama seminggu, topiknya beragam-ragam. Ada Human Rights di Asia Tenggara, kemajuan organisasi ASEAN, konflik etnis di Asia Tenggara dan lain-lain. APA kemudian berlangsung rutin, tahun 2003 dan 2004 diselenggarakan di Manila.

Hari Sabtu kemarin, saya menghadiri lagi sebuah konferensi, 64th Annual Conference of Midwest Political Science Association (MWPSA) di Chicago, sejam bermobil dari kota tempat saya belajar. Memang sungguh nikmat di sini, ada banyak sekali seminar, conference dan diskusi, baik besar ataupun kecil di berbagai tempat, di berbagai kota. Acara MWPSA ini berlangsung empat hari, ada ratusan session di dalamnya dan diramaikan oleh 3000 lebih hadirin yang mendaftar. MPWSA conference memang menjadi event besar yang ditunggu-tunggu kalangan akademisi, khususnya bidang political science. Event yang lebih besar lagi akan diadakan oleh American Political Science Association (APSA) beberapa bulan mendatang di Philadelphia.

Saya hadir di dua buah session. Satu mengenai comparative politics (desentralisasi di Asia Tenggara, khususnya Indonesia) dimana saya ikutan presentasi. Satu lagi adalah session dengan topik Measuring Violence in Conflicts. MWPSA mengorganisasi ratusan sessions dalam empat hari itu dan topiknya beragam juga, mulai dari studi konflik, congressional politics, politik international, foreign policy, gender, voting behavior, judicial politics, ada banyak sekali topik.

Tidak ada yang hebat dengan session presentasi saya itu. Karena, semua session (kecuali session-session besar yang diorganisasi langsung oleh MWPSA) adalah session usulan dari para peserta sendiri. Memang konferensi ini diadakan agar para political scientists (dan juga graduate atau PhD students dalam bidang political science) di Amerika bisa mempresentasikan penelitian yang sedang atau baru saja mereka selesaikan, untuk mendapat input, kritik, atau memberi inspirasi bagi kolega akademisnya.

Jadi, session mengenai desentralisasi di Indonesia itu kami usulkan ke panitia, yang tahun ini dipercayakan ke Indiana University di Bloomington, berbulan-bulan lalu. Syaratnya, kami diminta mencari 3 pembicara, 1 moderator dan 1 pembahas. Lalu, kami harus mengajukan abstrak/proposal dari setiap paper. Kalau panitia menganggap session yang diusulkan itu menarik, jadilah session usulan kita itu diselenggarakan, dan dimasukan ke booklet acara agar seluruh peserta konferensi bisa menimbang-menimbang untuk hadir. Kami mengusulkan session itu, karena kami punya paper yang kami tulis untuk mata kuliah Political Economy in Developing Areas yang membahas masalah desentralisasi di semester kemarin.

Semula iseng-iseng, nggak taunya diterima. Pembahasnya adalah professor kami dari NIU sendiri, Professor Dwight King, yang banyak mengkaji Indonesia, khususnya topik pemilu dan desentralisasi. Ryaas Rasyid dan Andi Malarangeng, yang menjadi arsitek program desentralisasi di Indonesia, adalah murid bimbingannya di NIU dulu.

Session itu kecil, juga di ruang kecil. Pada saat bersamaan, berlangsung pula session-session kecil di ruang-ruang kecil lainnya. Paling hanya 10-15 orang yang hadir di tiap session. Akan tetapi, yang hadir di session itu adalah orang-orang yang memang mendalami masalah sesuai dengan topik seminarnya. Karena itu, session berlangsung akrab, dan berguna sekali. Panitia ternyata memasukan dua pembicara dari universitas lain ke dalam session kami itu. Mereka berdua dari University of Wisconsin di Madison (UWM), dan mereka pengkaji Indonesia. Tidak mengherankan, karena UWM juga memiliki Center for Southeast Asian Studies seperti kampus saya NIU.

Usai session, break makan siang. Kami, hadirin dan pembicara session itu, memutuskan untuk pergi makan siang bersama di sebuah restaurant dekat Hotel Palmer Hilton Chicago tempat konferensi berlangsung. Kami menjadi akrab. Sebagai hasilnya, network baru terbentuklah. Selama makan siang kami ngobrol mengenai penelitian atau bidang kajian masing-masing. Kami berjanji akan saling menghubungi untuk sekedar bertukar informasi atau membantu kajian masing-masing.

Sepertinya, kelangkaan moment untuk saling berbicara dan berkomunikasi mengenai penelitian masing-masing inilah salah satu sebab yang membuat ilmu politik di Indonesia mandek dan tidak maju-maju. Karena tidak ada medium, maka tidak terbentuk epistemic community dalam bidang ilmu politik di negeri kita.

Antropologi jauh lebih maju. Di Indonesia, ada simposium international yang rutin diadakan tiap tahun oleh jurnal Antropologi Indonesia. Pesertanya dari Indonesia dan juga luar negeri. Panitianya juga memberi kesempatan untuk usulan membuka session, seperti yang umum dilakukan disini. Seorang professor di Departemen Antropologi NIU selalu datang ke simposium itu dari tahun ke tahun. Untuk political science, sebetulnya ada juga Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Tapi sepertinya juga tidak terlalu berkembang. AIPI juga punya jurnal, tapi tersendat. Entah kenapa, political scientists kita enggan menulis atau melakukan penelitian. Seorang kawan bahkan pernah dengan sinis berujar ke saya, “disertasi biasanya merupakan karya tulis terakhir, dan malah mungkin satu-satunya, dari para doktor bidang ilmu politik kita.”


Dekalb, 23 April 2006
philips vermonte

Strawberry Fields Forever

Kemarin, di kampus NIU terjadi kehebohan. Dua orang mahasiswa, ya hanya dua orang, menggelar demonstrasi di sebuah tempat yang selalu dilalui orang banyak, di plaza yang terletak antara Student Center dan Founders Memorial Library. Plaza nya bernama King Memorial Commons, mengambil nama Martin Luther King, penggerak Civil Rights Movement di Amerika tahun 1960-an dulu.

Yang membuat heboh adalah banner besar yang diusung dua mahasiswa itu. Begini isinya:

WARNING Jesus Rejecter: homos and lesbos, porno freaks, drunkards, Muslims, Buddhists, unsubmissive wives, money lover, unloving husbands, thieves, rebellious children, liars, fornicators, lazy Christians, Mormons, Roman Catholics. God will judge you!

Lebih seru lagi, dua mahasiswa ‘fundamentalis’ ini memakai kaos hitam dengan tulisan besar di depan dan belakang: Repent or Perish.

Saya melewati dua orang itu, dan ada banyak sekali orang yang berkerumun di sekitarnya. Rupanya, ada banyak orang yang gerah dengan banner itu dan mereka berhenti berjalan untuk berdebat dengan dua mahasiswa yang mungkin sedang bersemangat beragama. Menariknya, mereka yang berkerumun dan mendebat dua orang itu datang dari beragam kelompok: mahasiswa Muslim, Yahudi, Kristen, feminist, kelompok lesbian dan homoseks. Sementara, mereka berdua itu kalem-kalem saja. Mereka cuma bilang: Sinners will be punished…Itu mungkin yang bikin kerumunan orang bertambah sewot.

Seperti di banyak tempat lain, termasuk di Indonesia, di Amerika juga muncul kelompok yang “hobi”-nya mengkafirkan orang lain, dan merasa dirinya paling benar. Dua orang ini sungguh aneh, mereka yang beragama Kristen pun dijadikan sasaran: lazy Christians, Mormons, dan Roman Catholics. Katolik, tentu saja kita tahu, merupakan salah satu mainstream besar dalam Christianity. Mormon adalah salah satu aliran dalam tradisi Kristen di Amerika. Mungkin Mormon bisa dianalogikan dengan kelompok Ahmadiyah yang tertindas di negeri kita itu. Katolik, dan juga Mormon, mendasarkan ajarannya pada pengakuan Jesus sebagai Messiah, yang merupakan definisi khas ke-kristen-an, sama seperti mereka berdua.

Salah seorang teman Amerika saya yang pergi bareng ke konferensi di Michigan minggu lalu, adalah penganut Mormon. He is a very good person, kalau bicara santun sekali, jadwal hidupnya teratur, sama sekali tidak mengkonsumsi alkohol (dia tidak pernah ke cafe, bar atau pub), dan juga sangat aktif di gerejanya. Dia juga teman bicara yang menyenangkan. Spanduk dua mahasiswa tadi tentu menudingnya, sebagai penganut Mormon, berada di luar ke-Kristen-an alias kafir. Hanya ada satu kelompok yang lupa di list oleh dua orang ini: Hindu. Padahal, jumlah mahasiswa asal India di NIU cukup banyak juga…he..he. Akhirnya, polisi kampus mengusir dua orang itu.

Ada beberapa renungan yang muncul dari kehebohan kemarin. Pertama, kecenderungan eksklusifisme beragama pada dasarnya terjadi dimana-mana, di semua agama. Di Indonesia ataupun Amerika, Islam ataupun Kristen. Yang mengkhawatirkan adalah bila eksklusifisme merasuk ke universitas, sebuah tempat yang seharusnya steril dari semua gejala eksklusifisme. Kampus adalah tempat yang harus menjadi ruang yang paling inklusif dan menjadi benteng penjaga pluralisme. Beberapa hari terakhir juga sedang terjadi perdebatan hangat di kalangan akademisi Amerika. Kelompok radikal mulai aktif “menghantam” profesor-profesor di berbagai kampus yang menentang perang Irak dan kebijakan Amerika di Timur Tengah. Bulan Februari lalu, terbit sebuah buku kontroversial berjudul The Professors: 101 Most Dangerous Academics in America, dimana pengarangnya, Horowitz, membuat list "in alphabetical order, the radical academics whom he believes are polluting academe with leftwing propaganda. "Coming to a campus near you: terrorists, racists, and communists - you know them as The Professors," reads the blurb on the jacket. "Today's radical academics aren't the exception - they're legion. And far from being harmless, they spew violent anti-Americanism, preach anti-semitism and cheer on the killing of American soldiers and civilians - all the while collecting tax dollars and tuition fees to indoctrinate our children." (dari Guardian, 4 April 2006)

Dari sini renungan kedua muncul: seperti di Indonesia, di Amerika jumlah orang yang radikal dalam beragama pada dasarnya sangat jauh lebih sedikit dibandingkan dengan total populasi keseluruhan. Yang membuatnya menjadi kelihatan besar adalah media. Ketika Indonesia disalahpahami orang luar sebagai tempat yang dipenuhi radikalisme, sepertinya itu merupakan efek dari pemberitaan media. Kecenderungan yang sama terjadi juga dengan media-media di Amerika.

Bahkan koran harian Northern Star, koran yang dikelola ‘senat’ mahasiswa NIU mengulas panjang lebar dan mengkritik habis dua orang mahasiswa itu. Artinya, media memberi ruang dan memungkinkan terjadinya triangulasi pandangan eksklusifisme. So, in the end, kesalahpahaman meruncing, saling curiga antara Islam-Kristen, juga antara Timur-Barat. Betul kata John Lennon dan the Beatles dalam lagunya Strawberry Field Forever. John Lennon bilang: Living is easy with eyes closed, misunderstanding all you see….

ngomong-ngomong, koran mahasiswa Northern Star ini terbit rutin setiap hari sudah lama, sejak 100 tahun lalu. Majalah Polar kita terbitkan di kampus Fisip pertama kali tahun 1992 dan tahun 2005 masih terbit, jadi kira-kira baru 13 tahun. Bedanya lagi, Northern Star terbit setiap hari, sementara Polar adalah majalah Tempo, alias tempo-tempo terbit, tempo-tempo enggak ..he..he. Cuma sekedar memberi gambaran bahwa tradisi tulis-baca mahasiswa kita sungguh jauh tertinggal.

Renungan ketiga: tindakan aparat keamanan mengusir dua orang itu menurut saya merupakan hal yang juga mengkhawatirkan. Saya memang sangat tidak setuju dengan isi banner dua orang itu, tapi saya akan membela hak mereka untuk menyampaikan pendapat. Sepanjang mereka tidak melakukan aksi kekerasan, atau mendorong orang secara langsung melakukan kekerasan terhadap kelompok lain, hak berpendapatnya harus dilindungi sepenuhnya. Apalagi di dalam lingkungan kampus, yang merayakan kebebasan berpendapat.


Dekalb 7 April 2006
philips vermonte

Identity and Pilgrimage

Akhir pekan kemarin saya pergi ke Ann Arbor, Michigan. Menghadiri Graduate Student Conference yang diadakan Center of Southeast Asian Studies, University of Michigan. Saya dan dua teman lain yang juga akan presentasi makalah, berangkat jam 9 malam dari Dekalb, Illinois, dengan mobil sewaan. Padahal konferensi akan dimulai jam 9 pagi keesokan harinya. Apa boleh buat, kami ada kelas hingga jam 9 malam dan tidak mau kehilangan kelas itu, karena topiknya sangat menarik, religion and politics in Southeast Asia. Jadi kami memutuskan biarlah berangkat seusai kelas, dengan resiko tiba di Ann Arbor subuh jam 3 pagi. Dan memang begitulah kejadiannya.

Ann Arbor kota yang cantik. juga kampus University of Michigan yang dibangun sejak tahun 1817, kampus yang cukup tua juga usianya. Saya lantas teringat bagaimana saya terkagum pada suatu waktu di tahun 2004, ketika menghadiri European Southeast Asian Studies Conference yang diadakan di kampus Sorbornne, Paris. Kampus Sorbornne di bangun sekitar tahun 1100-an, seperti tertoreh pada sebuah plakat di salah satu sudut kampus. Jauh lebih tua dari kampus Uni of Michigan. Waktu di Sorbornne , pikiran liar saya sedang kumat saat itu, terpikir bahwa mungkin pada suatu hari di Sorbornne sekitar tahun 1100-an itu sedang berlangsung wisuda doktor, ketika di hari yang sama di negeri kita Ken Arok sedang sibuk menggoda Ken Dedes, memulai prahara turun temurun berdarahnya peristiwa suksesi politik di bumi Nusantara. Betapa kerja keras kita perlukan untuk mengejar ketertinggalan pengetahuan kita dari negeri-negeri Barat.

Seperti biasa, travelling buat saya selalu menyenangkan. Ia menjadi waktu yang tepat untuk berpikir. Sepanjang jalan menuju Ann Arbor, kami melewati kota-kota bernama Manchester, Chelsea, Parma dan nama-nama lain yang serupa dengan nama-nama kota di Eropa. European settlers generasi awal dulu rupanya membawa kerinduan pada tempat asalnya dan memberi nama tempat baru dengan nama tempat asal mereka. Dekat Dekalb (kampus Northern Illinois University-NIU-tempat saya belajar), ada juga kota-kota bernama Geneva dan Batavia. Tapi para settler dari tempat berbeda di Eropa itu menemukan identitas baru sebagai warga Amerika, yang dikenal dengan tradisi melting pot, tradisi multikulturalisme.

Lamunan perjalanan menuju Ann Arbor itu seperti menjadi benang merah yang terhubung ketika seminar berlangsung. Keynote speaker-nya, kebetulan adalah salah satu profesor dari NIU kampus saya, berbicara tentang sebuah topik menarik mengenai "pilgrimage" yang dilakukan oleh Haji Mohammad Sulong al Pattani di awal tahun 1900-an. Dialah, oleh pemerintah Thailand, yang dianggap patron dari gerakan "separatisme" di Pattani. Mungkin pandangan terhadap Haji Sulong kira-kira sama dengan pandangan terhadap Daud Beureueh di Aceh. Haji Sulong, dan banyak kisah lain yang serupa, pergi meninggalkan kota asalnya, pergi belajar dan bekerja, membelah dunia. Dia pernah menetap di Mekah dan menjadi tokoh terkemuka dan bahkan menjadi hakim disana. Selama periode religious dan intellectual pilgrimage-nya, Haji Sulong menyerap pandangan modernis Muhammad Abduh, yang ingin menghapus tradisi-tradisi irasional dan memberi jalan pada science. Di Mekah, dari ceramah itu saya tahu, komunitas pemukim asal Asia Tenggara termasuk Indonesia cukup kuat pengaruhnya sejak lama dan, yang terpenting, bertradisi moderat. Mereka dikenal sebagai komunitas Jawi (Jawah community). Mereka tergusur ketika kelompok Wahabi merebut Mekah dan Madinah pada tahun 1924 dan mendirikan dinasti Al-Saud, yang menjadi Arab Saudi sekarang. Banyak pemukim Jawi memutuskan pergi ke tempat lain, karena tidak cocok dengan kelompok Wahabi itu. Haji Sulong memilih kembali ke Pattani di Thailand selatan.

Tapi saya bukan hendak membahas gerakan Pattani. Saya lebih ingin bercerita mengenai 'keajaiban' yang senantiasa muncul dari pilgrimage. Dulu, Hatta dan Sjahrir pergi jauh belajar ke Negeri Belanda, melihat dan berkontemplasi atas kebebasan dan kemajuan di tanah Belanda, sementara negeri sendiri tertindas dan terhisap. Dalam intellectual pilgrimage ini, mereka berdua bertemu dengan Nehru, juga dari negeri tertindas. Menguatlah identitas diri, membuncah semangat merdeka. Di Bandung, pemuda Soekarno sama sekali tidak pergi menyeberang samudera, kegilaannya membaca buku membawanya juga pada intellectual pilgrimage. Pikirannya juga mengembara dan berkelana, berujung pula pada semangat ingin merdeka.

Pada akhirnya, kita semua adalah pengelana, membaca, melihat, berinteraksi dengan sesama. Akhirnya memahami diri dan negeri sendiri.

Dekalb, 2 April 2006
philips vermonte